Wacana
Lisan
Wacana lisan atau spoken discourse
adalah wacana yang disampaikan dengan menggunakan media lisan. Wacana lisan
pada prinsipnya diciptakan dalam waktu dan situasi nyata. Karena itu, sering pula wacana lisan ini diidentikkan dengan wacana interaktif (interactive discourse).Sudah merupakan fakta alami bahwa sebuah wacana lisan harus serta-merta dipahami, tidak
mungkin ditangguhkan. Ini berarti wacana lisan menghindari pengulangan informasi.
Seorang pendengar tidak mungkin bertanya terus-menerus atau menanyakan lagi apa
yang baru diucapkan oleh pembicara. Lain halnya dengan wacana tulis, dimanapembaca dapat membaca berulang-ulang atau memperlambat tempo bacaannya jika
ada hal yang belum atau kurang dipahami. Dengan demikian, wacana lisan terikat
ruang dan waktu, sedangkan wacana tulis tidak demikian (Juita, 2012)
Selanjutnya, wacana lisan dapat pula dibedakan atas dua bentuk, yaitu wacana lisan monolog dan wacana
lisan dialog. Di dalam wacana lisan monolog pembicara mendominasi peran. Sementara pihak lain (audiens) hanya bertindak sebagai pendengar. Contoh wacana lisan monolog antara
lain khutbah, wirid-wirid pengajian, ceramah ilmiah, pidato, dan pada umumnya
kegiatan mengajar di kelas.
Wacana lisan dialog disebut juga dengan wacana percakapan. Di dalam sebuah
percakapan terlibat dua pihak yang saling memberi dan menerima informasi.
Peranan pelibat di dalam wacana lisan dialog adalah sama. Tidak ada satu pihak
yang mendominasi peran. Biasanya, di dalam wacana lisan dialog hubungan baik
antarpelibat selalu dipertahankan.Wacana lisan dialog dapat dibedakan atas
wacana dialog alamiah atau dialog sesungguhnya (real conversation), dan dialog rekayasa atau dialog teks. Dialog
alamiah misalnya obrolan di warung kopi, di tempat-tempat umum, tanya jawab di
ruang pengadilan, dan dialog-dialog yang dilaksanakan dalam wacana langsung.
Dialog teks antara lain terdiri atas naskah
(teks) drama, skenario film atau sinetron, dan wawancara-wawancara yang
memang sudah diskenariokan terlebih dulu (Juita, 2012)
Fokus pembahasaan pada subbab ini
adalah tentang unsur pembentuk wacana lisan. Sehubungan dengan ini,
para ahli telah menyepakati bahwa struktur pembentuk wacana lisan, terutama
wacana lisan dialog terdiri atas kerjasama partisipan, tindak tutur, pasangan
berdampingan, pembukaan dan penutupan, topik pembicaraan, pengambilan giliran,
sifat rangkaian percakapan, dan tata bahasa percakapan. Uraian berikut akan
membahas unsur-unsur wacana lisan.
1. Kerjasama Partisipan
Percakapan adalah interaksi oral (lisan) dengan bertatap muka antara dua pertisipan atau lebih. Percakapan merupakan
aktivitas yang diatur melalui kaidah-kaidah, norma-norma dan konvensi-konvensi
yang dipelajari sebagai bagian dari proses pemerolehan kompetensi berbahasa.
Percakapan juga merupakan salah satu perwujudan peristiwa tutur yang tentu
berbeda dengan peristiwa tutur lainnya.
Salah satu unsur atau komponen utama
dalam sebuah percakapan adalah harus adanya suatu jalinan atau kerjasama
antarpelibat di dalam percakapan itu. Sebuah percakapan pada dasarnya dilandasi
oleh suatu asumsi yaitu bila saya
menanyakan pada Anda, apapun yang Anda katakan, itu akan diinterpretasikan
sebagai jawaban terhadap pertanyaan saya. Seandainya tidak ada jalinan
kerjasama antarpecakap, maka percakapan itu sesungguhnya tidak pernah ada.
Untuk itu, di dalam sebuah percakapan unsur kerjasama adalah penting.
Sehubungan dengan prinsip kerjasama,
Grice (1967) dalam Richard (1995:4) telah memerikan adanya empat prinsip
tingkah laku kerjasama yang disebutnya dengan maksim kerjasama. Keempat maksim
itu adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara.
Maksim
kuantitas menjelaskan kenyataan bahwa pecakap biasanya memberikan informasi
yang cukup, tidak kurang dan tidak pula melebihi apa yang diminta oleh pihak
lain. Dalam hal ini Grice menganjurkan ”buatlah kontribusi Anda seinformatif sebagaimana diharapkan”.
Selanjutnya, masih pada maksim
kuantitas, Grice (1976) dalam Richard (1995:4) mengasumsikan jika seorang
pecakap mempunyai cara untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh
pendengar, informasi itu harus dikomunikasikan kepada pendengar.
Maksim
yang selanjutnya adalah maksim kualitas. Maksim kualitas
dilandasi oleh suatu asumsi dasar yang meny atakan bahwa apa yang diungkapkan
di dalam sebuah percakapan adalah suatu kebenaran dan situasinya
sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maksim hubungan baru akan terbentuk
jika pelibat (partisipan) percaka pan sudah mempunyai praanggapan yang sama
tentang apa yang dipercakapkan.
Maksim
Cara (maxim of manner) merupakan
prinsip kerjasama yang berkaitan dengan strategi atau tatacara keberlangsungan
sebuah percakapan. Maksim cara ini terkait langsung dengan faktor budaya dan
kebiasaan yang secara umum berlaku di dalam suatu komunitas di mana percakapan
itu berlangsung. Karena itu maksim ini juga barhubungan dengan prinsip
kesopanan.
Sebagaimana sudah disinggung
terdahulu, bahwa prinsip kerjasama yang terealisasi dalam bentuk maksim ini
akan sangat tergantung pada faktor ekstralinguistik seperti faktor budaya dan
faktor tradisi yang berlaku di dalam masyarakat penutur dimana percakapan itu
berlangsung. Orang Minangkabau mungkin lebih suka melangsungkan percakapan
dalam bentuk tidak langsung (implisit). Semakin langsung sebuah percakapan
dirasakan semakin tidak sopan. Karena itu, mereka memilih ungkapan-ungkapan
tidak langsung, dan itu biasanya lebih panjang (mungkin akan melanggar maksim
kuanitas).
2.
Tindak Tutur (Speech Act)
Konsep tindak tutur pertama kali
dicetuskan oleh Austin (1962). Konsep tindak tutur itu bertolak dari asumsi
dasar yang menyatakan bahwa unit minimal suatu komunikasi bukan kalimat atau
ekspresi lainnya, tetapi merupakan penampilan tindak tertentu seperti membuat
pernyataan, bertanya, memberi perintah, meminta maaf, mengucapkan terima kasih
dan mengkritik.
Tindak tutur dapat diperikan sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan melalui kegiatan pertuturan, ketika terlibat di dalam sebuah percakapan. Di pihak lain, tindak tutur dapat
didefinisikan sebagai suatu unit terkecil percakapan yang mempunyai fungsi
tertentu,
dan tindak tutur itu adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event). Peristiwa tutur itu secara lengkap adalah wacana itu sendiri yang
wujudnya mungkin dalam bentuk sebuah percakapan lengkap, penggalan percakapan di mana tindak tutur adalah unsur pembentuknya. Artinya, suatu peristiwa tutur itu
terdiri atas rangkaian pengertian, tindakan, dan tanggapan.
Sebuah percakapan lengkap tidak
hanya terdiri atas tindak tutur tunggal, tetapi biasanya terdiri atas tindak
tutur yang multifungsi. Labov dan Fashel (1977:29) dalam Richard (1995:7)
menyatakan bahwa sebagian besar tuturan dapat dipahami sebagai pernyataan
tindak tutur sekaligus. Setiap peserta tutur kelihatannya dapat memahami dan
menanggapinya dalam berbagai tingkat abtraksi yang berbeda. Oleh sebab itu,
fungsi utama percakapan berupa tindak tutur. Sewaktu orang berbincang-bincang,
mereka mungkin pada waktu itu telah meminta orang untuk melakukan sesuatu,
melarang, mengeritik, memuji, atau mengundang.Austin (1962) dalam Richard
(1995:6) menyatakan bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris yang dapat
dijadikan sebagai penanda tindak tutur. Kata-kata kerja yang dimaksud antara
lain seperti ask (bertanya), request (meminta), direct (memimpin), require (membutuhkan),
order (menyuruh), commond (memerintahkan), beg (memohon), dan plead (menuntut)(lihat juga Juita, 2012)
Secara garis besar, tindak tutur dapat dikelompokkan
atas tindak tutur konstatif dan tindak tutur performatif. Tindak tutur
konstatif disebut juga dengan tindak tutur deskriptif. Sebuah tuturan bersifat
konstatif jika tuturan itu hanya difungsikan untuk mengatakan sesuatu.
Selanjutnya, tindak tutur disebut sebagai tindak tutur performatif jika tuturan itu
tidak hanya sekedar mengatakan sesuatu, tetapi sekaligus juga menindakkan
sesuatu. Di dalam tuturan itu sekaligus terdapat dua unsur, yaitu unsur ucapan
dan unsur tindak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada tindak tutur konstatif
hanya terdapat tindak lokusi saja, sedangkan tindak tutur performatif mengandung
tindak lokusi dan tindak ilokusi.
Konsep tindak
tutur lokusi dan ilokusi ini diulas lebih lanjut oleh Searle (1969:23-24) dengan menambahkan
satu konsep lagi, yaitu tindak perlokusi. Tindak
lokusi (locutionary act) adalah
tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut juga dengan the act of saying something. Sebuah tuturan bersifat ilokasi (ilocutionary act) jika tuturan itu
tidak hanya sekedar menginformasikan sesuatu, tetapi sekaligus menindakkan sesuatu.
Karena itu, tindak tutur ilokasi disebut juga sebagai the act of doing something. Selanjutnya, tindak perlokusi (perlocutinar
act) adalah suatu tindak tutur yang mempunyai daya pengaruh atau efek
terhadap pendengar. Karena itu, tindak tutur perlokusi dinamakan juga dengan the act o effecting someone.
Tindak tutur lokusi ini merupakan tindak tutur yang paling sederhana, dan
berkaitan langsung dengan makna sebuah proposisi. Oleh karena itu, relatif
lebih mudah untuk diidentifikasi. Sebaliknya, tindak tutur ilokusi lebih sukar
diidentifikasi karena harus
mempertimbangkan banyak faktor di antaranya siapa penutur dan mitra tutur,
dimana dan kapan tuturan itu dilaksanakan, serta untuk apa tuturan itu
digunakan.
Jika tindak tutur lokusi dan ilokasi ditinjau dari penutur, tindak tutur
perlokusi dipandang dari sudut petutur atau mitra tutur. Lebih jelasnya lagi,
pada tindak tutur perlokusi yang lebih dipertimbangkan adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh tuturan
itu terhadap petutur atau mitra tutur (Wijana dan Rohmadi,
2009:23).
Salah seorang murid Austin, Searle
(1976) (dalam Richard, 1995:7) dan Tallei (1993:44)
mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan maksud penutur ketika bertutur.
Klasifikasi itu terdiri atas tindak tutur asertif, direktif, komisif,
ekspresif, dan deklaratif.
Tindak
tutur asertif (assertive) disebut
juga dengan tindak tutur representatif (representation).
Tindak tutur asertif meliputi antara lain pemberian pernyataan, pemberian
saran, pengeluhan, penuntutan, dan pelaporan. Tindak tutur direktif (directive)
bertujuan menghasilkan efek tertentu melalui suatu tindak oleh pendengar.
Tindak yang dimaksud antara lain memerintahkan, menyuruh, meminta, dan
menasehati. Tindak tutur komisif (commisive) adalah tindak tutur yang
menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk
mengekspresikan perasaan dan sikap psikologi seperti mengucapakan terima kasih,
memuji, menyatakan sedih, memaafkan, dan sebagainya. Tindak tutur deklaratif (declarative)
adalah tindak yang sangat spesifik. Tindak tutur ini menggambarkan perubahan
dalam suatu keadaan hubungan. Tindak tutur jenis ini pada umumnya diucapkan
oleh seseorang yang mempunyai otoritas tertentu. Misalnya, pernyataan hakim ketika menjatuhkan hukuman,
ucapan ijab kabul waktu pernikahan, dan tindakan pemecatan.
Di samping jenis tindak tutur yang
telah dipaparkan terdahulu, masih ada jenis berdasarkan pada hakikat
pemakainnya. Fraser, mengelompokkannya atas tindak tutur sopan santun, tindak
tutur penghormatan, dan tindak tutur tidak menghiraukan.
Tindak
tutur sopan santun biasanya ditemukan pada percakapan awal (pertama) untuk
orang-orang yang baru brkenalan. Pada waktu itu kedua belah pihak menunjukkan
sikap dan tindak saling menghargai dan saing menghormati dengan menggunakan
tindak tutur yang seimbang pula.
Tindak tutur penghormatan digunakan untuk situasi percakapan antara kedua belah pihak yang berbedas
status sosialnya, misalnya percakapan antara pegawai dengan atasanya dan lain
sebagainya. Tindak tutur tidak
menghiraukan dijumpai pada dua situasi tutur yang berbeda. Situasi pertama,
karena tidak sengaja. Misalnya ketika salah seorang (satu pihak) yang terlibat
di dalam percakapan itu beralih perhatiannya pada masalah lain. Situasi ini
ditandai dengan bentuk tutur yang terbata-bata, atau kaget karena ditanyakan
kembali apa yang sedang dipercakapkan. Situasi kedua dengan sengaja, misalnya
percakapan antara dua pihak yang saling bersaing atau bermusuhan.
3. Pasangan Berdampingan
Pasangan berdampingan dalam istilah
lain dinamakan juga dengan penggalan pasangan percakapan (adjacency pairs) adalah tuturan yang dihasilkan oleh dua pihak
(penutur dan petutur) secara berkesinambungan. Tuturan pertama merupakan bagian
pertama pasangan, dan tuturan berikutnya merupakan bagian kedua pasangan.
tuturan pertama disebut dengan stimulan, sedangkan pasangannya disebut respon.
Levinson (1985:304) menjelaskan
bahwa pasangan berdampingan ini merupakan unit dasar (fondamental) dari
organisasi percakapan. (lihat juga Coulthard, 1977:70). Ketika seseorang
menghasilkan sebuah tuturan yang berfungsi sebagai bagian pertama pasangan,
diharapkan pihak lain (mitra tutur) akan memberikan respon (bagian kedua) yang
sesuai.
Penggalan pasangan percakapan atau
pasangan berdampingan ini dapat ditemukan pada rangkaian percakapan yang
lengkap, atau pada sepenggal percakapan sederhana. Sehubungan dengan hal ini,
Richard (1995:11) menyimpulkan bahwa
pasangan berdampingan terdiri atas delapan kategori, yaitu penggalan
salam atau tegur sapa (greeting – greeting), panggilan –
jawaban (summons – answer), keluhan –
bantahan (complaint – denial),
keluhan – permohonan maaf (complaint–apology),
permohonan– persetujuan (request - grant),
permintaan informasi - penjelasan (request
for information - grant), penawaran - penerimaan (offer - accept), dan penawaran - penolakan (offer - reject).
Kedelapan penggalan untuk pasangan
berdampingan itu belum tentu selalu ditemukan di dalam suatu rangkaian
percakapan. Jenis penggalan mana yang ditemukan akan sangat tergantung pada
situasi, isi dan pemeran serta dalam percakapan itu. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
contoh sebagai penambah pemahaman Anda.
4.
Pembukaan dan Penutupan
Mekanisme bagaimana suatu percakapan
dimulai dan diakhiri dinamakan dengan pembukaan dan penutupan percakapan (openings and closings). Sebuah
percakapan pastilah mempunyai awal (pembukaan) dan akhir (penutupan),
meskipun kadangkala tidak mudah untuk
diidentifikasi terutama dalam percakapan
spontan. Namun, menurut Richard hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena ”the openings and closings of conversations
andothertypes of speech events are organized and orderly”Artinya, pembukaan dan penutupan percakapan itu selalu terorganisasi dan
teratur.
Ada dua macam pembukaan dan
penutupan (Richard, 1995:11, dan Levinson, 1983:309). Pertama pembukaan sebagai tuturan awal dan penutupan sebagai
tuturan akhir dalam suatu percakapan lengkap. Pada jenis ini cara yang paling umum digunakan sebagai pembukaan
adalah pasangan berdampingan dalam bentuk salam atau tegur sapa.
Selain itu, dapat pula digunakan sebagai pembukaan dengan cara menanyakan
kembali apa yang sudah pernah dipercakapkan sebelumya. Cara ini biasa digunakan
untuk membuka suatu proses belajar atau
perkuliahan. Untuk penutupan biasanya diawali dengan prapenutupan yang ditandai
oleh mulai tidak lancarnya percakapan atau berkurangnya semangat berbicara yang
ditandai dengan turunnya intonasi. Kedua,
pembukaannya dan penutupan yang dijumpai pada setiap penggalan percakapan. Pada
jenis ini setiap tuturan atau rangkaian tutur yang memulai sebuah penggalan
pasangan berperan sebagi pembuka percakapan, dan setiap jawaban atau respon merupakan
penutupnya.
Bagian dari struktur pembukaan
menurut Sacks dan Schegloff (1973) dalam Syamsuddin (1997:108) berkaitan pula
dengan penentuan topik percakapan. Peserta percakapan menentukan sebuah topik
sebagai topik pertama melalui proses negosiasi.
5.
Pengambilan Giliran Berbicara
Giliran berbicara diistilahkan juga
dengan kesempatan berbicara (turn talking).
Maksudnya, segala sesuatu yang berkenaan dengan siapa, kapan, dan berapa lama
seseorang atau satu pihak memperoleh giliran untuk berbicara dalam sebuah
percakapan lengkap atau dalam sebuah penggalan percakapan.
Ada penutur yang selalu ingin
mendominasi pembicaraan, dalam arti kurang memberi kesempatan kepada mitranya
untuk juga berbicara. Sebaliknya, ada pula penutur yang kurang memberikan
kontribusi, dalam arti kurang memberikan respon terhadap mitra tuturnya. Kedua
kondisi yang digambarkan ini sama-sama tidak menguntungkan. Hal tersebut akan sama-sama
mengakibatkan percakapan tidak berlangsung dengan baik, atau dapat berakhir
dengan cepat.
Untuk menghindari hal-hal seperti
itu-- supaya percakapan dapat berlangsung dengan baik, faktor pengambilan
giliran berbicara itu perlu diperhatikan. Pada dasarnya, pengambilan giliran
atau kesempatan berbicara itu sudah mempunyai kontribusi tertentu, meskipun
tidak selalu bersifat urutan. Hal ini sudah diatur oleh konvensi-konvensi yang
ada di tengah-tengah masyarakat tutur. Sehubungan dengan hal itu, Schegloff dan
Jefferson (1974) dalam Richard (1996:17) telah memberikan tata cara berperan
serta dalam percakapan. Aturan dasarnya adalah hanya ada satu orang yang
berbicara pada satu satuan waktu. Seorang penutur boleh memilih penutur boleh memilih
penutur berikutnya dengan menggunakan pasangan berdampingan.
Aturan pengambilan giliran berbicara
berbeda-beda tergantung pada jenis dan peristiwa tutur. Untuk itu, para ahli
telah mengelompokkan pengambilan giliran berbicara ini atas empat jenis, yaitu
giliran atomatis, giliran diatur, giliran direbut, dan giliran suka rela.
Giliran otomatis sering ditemukan pada percakapan yang pesertanya hanya dua
orang. Giliran diatur akan dijumpai pada percakapan-percakapan yang sifatnya
rekayasa, seperti pada teks drama, film dan sinetron, serta pada
percakapan-percakapan formal, seperti
diskusi dan seminar. giliran direbut akan ditemukan dalam suatu pertengkaran
atau dalam diskusi bebas. Giliran suka rela akan dijumpai pada percakapan yang
bersifat pertukaran pendapat. Artinya, orang yang mengerti duduk persoalannya
akan mengambil kesempatan untuk berbicara.
Pada dasarnya, pengambilan giliran
berbicara adalah sebuah cara yang menunjukkan bahwa peranan dan status
seseorang cukup dipertimbangkan dalam sebuah percakapan. Selain itu,
pengambilan giliran berbicara juga berkaitan erat dengan pemilihan topik
percakapan. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa seseorang mengambil
giliran berbicara ketika mereka memiliki kontribusi terhadap topik yang sedang
dipercakapkan atau ketika mereka ingin mengganti topik.
Ada cara tertentu yang dapat
dilakukan untuk terampil mengambil giliran berbicara. Keller (1976:19) dalam
Richard (1995:18) mengistilahkan dengan gambits.
Gambits adalah ungkapan tertentu yang
digunakan sebagai sarana percakapan. Misalnya, jika seseorang ingin menyatakan
suatu pendapat, dapat digunakan ungkapan ”menurut pendapat saya ...” (in my opinion). Ketika seseorang ingin menyampaikan
sesuatu yang tidak menyenangkan, dapat
digunakan ungkapan ”Suka atau tidak, kita ...” (Whether we like or not). Begitu pula jika seseorang ingin
menghentikan percakapan dapat dipakai ungkapan ”ya ..., sangat menyenangkan
dapat berbincang-bincang dengan Anda” (Well
it was nice talking to you), atau jika mitra tutur tidak menangkap apa yang
dimaksud, dapat dilanjutkan dengan ungkapan ”Maaf, saya benar-benar harus pergi
sekarang” (Sorry, I have really go to now).
6. Sifat Rangkaian Tuturan
Di dalam penggalan pasangan
percakapan dikenal apa yang disebut dengan rangkaian percakapan. Sifat
rangkaian itu merupakan salah satu aspek yang penting juga untuk dianalisis.
Sifat rangkaian itu dinamakan juga dengan linked
dialog couplet atau adjacency pair
coherence.
Fungsi utama rangkaian itu adalah
untuk membentuk situasi pergantian bertutur dalam rangkaian percakapan (ritual interchange), terutama di dalam
penggalan pasangan yang berbentuk tanya jawab (Goffam, dalam Syamsuddin,
1997/1998:113). Sifat rangkaian itu dapat dikelompokkan kepada rangkaian
berantai, rangkaian bergantung, dan rangkaian melingkar.
Rangkaian berantai atau chaining adalah sejenis rangkaian
percakapan satu lawan satu. Setiap tuturan (pertanyaan atau pernyataan) yang
dikemukakan oleh penutur, langsung diberikan responnya oleh mitra tutur.
Sifat rangkaian yang kedua adalah rangkaian bergantung atau coupling. Rangkaian bergantung agak berbeda dari rangkaian
berantai. Perbedaannya, jika pada rangkain berantai selalu
terjadi selang-seling antara pemeranserta percakapan, tetapi pada rangkaian
bergantung tidak demikian. Stimulus yang diberikan oleh pihak pertama (A)
direspon oleh pihak kedua (B). Lalu, pihak kedua (B) memberikan stimulus
lanjutan kepada pihak pertama (A).
Bentuk rangkaian ketiga adalah rangkaian melingkar atau embedding. Bentuk rangkaian ini
mempunyai perbedaan yang sangat tipis dengan rangkaian kedua. Jika pada
rangkaian bergantung stimulus yang diberikan oleh pihak pertama direspon dulu
sebelum balik memberikan stimulus, pada rangkaian melingkar stimulus yang
diberikan pihak pertama tidak direspon langsung oleh pihak kedua. Pihak kedua
justru memberikan stimulus lanjutan atau balik
bertanya. Stimulus lanjutan atau pertanyaan pihak kedua harus segera
dijawab oleh pihak pertama. Setelah itu, barulah pihak kedua dapat memberikan
respon terhadap stimulus awal yang diberikan pihak pertama.
7. Topik Percakapan
Sebuah
percakapan yang solit adalah percakapan yang mematuhi norma yang berkaitan
dengan pemilihan topik. Coulthard dalam Richard (1995:16) mengungkapkan bahwa
pertanyaan pendahuluan adalah segala sesuatu yang dapat membangkitkan
topik-topik percakapan. Selain itu, hal
yang tak kalah penting dan tak boleh terabaikan adalah
bagaimana topik dipilih untuk dibicarakan dan strategi yang digunakan
oleh penutur untuk menyampaikan, mengembangkan atau mengubah topik.
Ada dua macam topik dalam konteks
percakapan, yaitu topik umum dan topik kecil-kecil. Topik umum biasanya menjadi
pokok pangkal pembicaraan yang sekaligus akan menjai judul pembicaraan. Topik
kecil-kecil terletak di dalam rangkaian percakapan dan sering berubah-ubah
sesuai dengan rangkaian percakapan itu.
Fungsi topik umum adalah untuk
mengarahkan seluruh percakapan sehingga tidak melenceng dari maksud semula. Topik kecil-kecil
berfungsi untuk mematangkan dan lebih mengkhususkan pembahasan pada aspek-aspek
tertentu.
Kadangkala topik-topik kecil di dalam
sebuah percakapan itu tidak mudah ditampilkan karena hal itu banyak berhubungan
dengan aspek-aspek lain seperti kemampuan mendesak mitra oleh penutur. Hal ini
dapat ditanggulangi antara lain dengan menggunakan kalimat imperatif,
mengucapkan sesuatu yang dapat menarik
perhatian, dan menyodorkan hal-hal yang sesuai dengan hasrat mitra tutur.
Di
samping pemahaman tentang jenis topik, perlu pula diketahui tentang alur sebuah
topik selama percakapan berlangsung. Pengetahuan tentang dunia nyata adalah
salah satu sumber informasi yang dapat digunakan oleh penutur untuk
memperkirakan serta mengantisipasi pertanyaan dan wacana terkait untuk
topik-topik tertentu. Begitu pula, penutur juga harus mempunyai kemampuan
mengenal ungkapan-ungkapan yang lazim digunakan terkait dengan peralihan topik.
8. Tatabahasa Percakapan
Tatabahasa percakapan mempunyai
karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan tatabahasa pada jenis wacana
lain, terutama sekali dengan wacana tulis. Sebuah percakapan pada umumnya tidak
terdiri atas kalimat-kalimat lengkap. Artinya, satuan-satuan bahasa yang
difungsikan dalam percakapan tidak memenuhi kriteria kalimat yang lengkap.
Bahkan Pawley dalam Richard (1995:23) mengusulkan bahwa unit linguistik
percakapan yang paling mendasar bukanlah kalimat lengkap tetapi klausa.
Kebanyakan klausa yang digunakan adalah rangkaian peristiwa atau keterangan
sederhana.
Kekhususan bentuk ketatabahasaan
percakapan itu mengakibatkan berbeda pula cara dan sistem penelaahan terhadap
masalah itu. Persoalan yang paling menonjol pada tatabahasa percakapan antara
lain adalah banyaknya ditemukan unsur yang dilesapkan atau dielipskan. Untuk itu,
langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan unsur-unsur apasajakan
yang dielipskan itu? (mungkin subjek,
predikat, objek atau komplemen).
Karena percakapan dilakukan dalam
situasi langsung dan bersemuka antara pemeran serta, ada kemungkinan banyak unsur yang dielipskan.Tentu saja hal tersebut hal yang lumrah.Selain itu, sebuah
percakapan langsung dan bersemuka dapat pula ditunjang oleh sejumlah unsur yang bersifat suprasegmental seperti
intonasi, jeda, tekanan, mimik dan air muka. Karenanya, kalimat-kalimat yang
ditampilkan tidak perlu dalam kalimat-kalimat sempurna.
9. Pembetulan
Istilah pembetulan
dalam konsep ini mengarah kepada usaha penutur dan petutur untuk mengoreksi
kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam suatu percakapan. Hal ini dilakukan
untuk memastikan apakah pesan yang disampaikan sudah dapat dipahami dengan baik
oleh petutur atau tidak. Pembetulan ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak,
penutur dan atau petutur. Pembetulan yang dilakukan atas inisiatif penutur
dinamakan dengan swapembetulan, dan pembetulan yang lain dapat dilakukan oleh
petutur (Richard, 1995:19)
Ada
penanda untuk dilakukan pembetulan ini, baik secara linguistik, maupun
ekstralinguistik. Strategi yang digunakan dapat dalam bentuk pendekatan,
penemuan kata yang, peminjaman kata, dan peragaan.
10. Alih Kode
Suatu percakapan tidak berlangsung
secara monoton hanya dengan menggunakan satu bahasa tertentu. Kadangkala
terjadi pencampura pemakaian antara
beberapa bahasa (dua atau lebih bahasa), dua
atau lebih ragam bahasa dalam sebuah peristiwa komunikasi.
Analisis wacana lisan dapat dilakukan terhadap unsur-unsur pembentuk wacana
lisan sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu. Seorang penganalisis boleh
memilih hanya beberapa unsur saja yang mau dipilihnya. Jadi, tidak harus
keseluruhan komponen yang terdapat di dalam wacana lisan tersebut.
D.
DAFTAR RUJUKAN
Juita,
Novia. 2012 “Analisis Wacana Pragmatik”
(buku ajar) Padang: Proyek
Rekonstruksi Penulisan Buku Ajar dana BOPTN. Fakultas Bahasa Universitas Negeri Padang.
Marcellino, M. 1993. “Analisis
Percakapan: Telaah Tanya Jawab di Meja Hijau” dalam PELLBA 6 (Bambang Kaswanti Purwo (ed).
Jakarta: Lembaga Bahasa Bahasa Unika Atma Jaya
Richard, Jack.C.
1995. Tentang Percakapan.
(diterjemahkan oleh Iswari). Surabaya: Erlangga University Press.
Sukamto, Katharina Endriati. 2005.
“Bentuk-bentuk Acuan dan Kesinambungan Informasi: Analisis Wacana Bahasa
Indonesia” dalam PELLBA 17(Bambang Kaswanti
Purwo (ed). Jakarta: Lembaga Bahasa Bahasa Unika Atma Jaya
Syamsuddin, dkk.
1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III dan Sastra.
0 komentar:
Posting Komentar