Selasa, 22 September 2015

Wacana Lisan

Wacana Lisan

            Wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan dengan menggunakan media lisan. Wacana lisan pada prinsipnya diciptakan dalam waktu dan situasi nyata. Karena itu, sering pula wacana lisan ini diidentikkan dengan wacana interaktif (interactive discourse).Sudah merupakan fakta alami bahwa sebuah wacana lisan harus serta-merta dipahami, tidak mungkin ditangguhkan. Ini berarti wacana lisan menghindari pengulangan informasi. Seorang pendengar tidak mungkin bertanya terus-menerus atau menanyakan lagi apa yang baru diucapkan oleh pembicara. Lain halnya dengan wacana tulis, dimanapembaca dapat membaca berulang-ulang atau memperlambat tempo bacaannya jika ada hal yang belum atau kurang dipahami. Dengan demikian, wacana lisan terikat ruang dan waktu, sedangkan wacana tulis tidak demikian (Juita, 2012)
            Selanjutnya, wacana lisan dapat pula dibedakan atas dua bentuk, yaitu wacana lisan monolog dan wacana lisan dialog. Di dalam wacana lisan monolog pembicara  mendominasi peran. Sementara pihak lain (audiens) hanya bertindak sebagai pendengar. Contoh wacana lisan monolog antara lain khutbah, wirid-wirid pengajian, ceramah ilmiah, pidato, dan pada umumnya kegiatan mengajar di kelas.
            Wacana lisan dialog disebut juga dengan wacana percakapan. Di dalam sebuah percakapan terlibat dua pihak yang saling memberi dan menerima informasi. Peranan pelibat di dalam wacana lisan dialog adalah sama. Tidak ada satu pihak yang mendominasi peran. Biasanya, di dalam wacana lisan dialog hubungan baik antarpelibat selalu dipertahankan.Wacana lisan dialog dapat dibedakan atas wacana dialog alamiah atau dialog sesungguhnya (real conversation), dan dialog rekayasa atau dialog teks. Dialog alamiah misalnya obrolan di warung kopi, di tempat-tempat umum, tanya jawab di ruang pengadilan, dan dialog-dialog yang dilaksanakan dalam wacana langsung. Dialog teks antara lain terdiri atas naskah  (teks) drama, skenario film atau sinetron, dan wawancara-wawancara yang memang sudah diskenariokan terlebih dulu (Juita, 2012)
            Fokus pembahasaan pada subbab ini adalah tentang unsur  pembentuk wacana lisan. Sehubungan dengan ini, para ahli telah menyepakati bahwa struktur pembentuk wacana lisan, terutama wacana lisan dialog terdiri atas kerjasama partisipan, tindak tutur, pasangan berdampingan, pembukaan dan penutupan, topik pembicaraan, pengambilan giliran, sifat rangkaian percakapan, dan tata bahasa percakapan. Uraian berikut akan membahas unsur-unsur wacana lisan.

1.  Kerjasama Partisipan    
            Percakapan adalah interaksi oral (lisan) dengan bertatap muka antara dua pertisipan atau lebih. Percakapan merupakan aktivitas yang diatur melalui kaidah-kaidah, norma-norma dan konvensi-konvensi yang dipelajari sebagai bagian dari proses pemerolehan kompetensi berbahasa. Percakapan juga merupakan salah satu perwujudan peristiwa tutur yang tentu berbeda dengan peristiwa tutur lainnya.
            Salah satu unsur atau komponen utama dalam sebuah percakapan adalah harus adanya suatu jalinan atau kerjasama antarpelibat di dalam percakapan itu. Sebuah percakapan pada dasarnya dilandasi oleh suatu asumsi yaitu bila saya menanyakan pada Anda, apapun yang Anda katakan, itu akan diinterpretasikan sebagai jawaban terhadap pertanyaan saya. Seandainya tidak ada jalinan kerjasama antarpecakap, maka percakapan itu sesungguhnya tidak pernah ada. Untuk itu, di dalam sebuah percakapan unsur kerjasama adalah penting.
            Sehubungan dengan prinsip kerjasama, Grice (1967) dalam Richard (1995:4) telah memerikan adanya empat prinsip tingkah laku kerjasama yang disebutnya dengan maksim kerjasama. Keempat maksim itu adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara.
            Maksim kuantitas menjelaskan kenyataan bahwa pecakap biasanya memberikan informasi yang cukup, tidak kurang dan tidak pula melebihi apa yang diminta oleh pihak lain. Dalam hal ini Grice menganjurkan ”buatlah kontribusi Anda seinformatif sebagaimana  diharapkan”.
            Selanjutnya, masih pada maksim kuantitas, Grice (1976) dalam Richard (1995:4) mengasumsikan jika seorang pecakap mempunyai cara untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh pendengar, informasi itu harus dikomunikasikan kepada pendengar.
            Maksim yang selanjutnya adalah maksim kualitas. Maksim kualitas dilandasi oleh suatu asumsi dasar yang meny atakan bahwa apa yang diungkapkan di dalam sebuah percakapan adalah suatu kebenaran dan situasinya sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maksim hubungan baru akan terbentuk jika pelibat (partisipan) percaka pan sudah mempunyai praanggapan yang sama tentang apa yang dipercakapkan.
            Maksim Cara (maxim of manner) merupakan prinsip kerjasama yang berkaitan dengan strategi atau tatacara keberlangsungan sebuah percakapan. Maksim cara ini terkait langsung dengan faktor budaya dan kebiasaan yang secara umum berlaku di dalam suatu komunitas di mana percakapan itu berlangsung. Karena itu maksim ini juga barhubungan dengan prinsip kesopanan.
            Sebagaimana sudah disinggung terdahulu, bahwa prinsip kerjasama yang terealisasi dalam bentuk maksim ini akan sangat tergantung pada faktor ekstralinguistik seperti faktor budaya dan faktor tradisi yang berlaku di dalam masyarakat penutur dimana percakapan itu berlangsung. Orang Minangkabau mungkin lebih suka melangsungkan percakapan dalam bentuk tidak langsung (implisit). Semakin langsung sebuah percakapan dirasakan semakin tidak sopan. Karena itu, mereka memilih ungkapan-ungkapan tidak langsung, dan itu biasanya lebih panjang (mungkin akan melanggar maksim kuanitas).

2.  Tindak Tutur (Speech Act)         
            Konsep tindak tutur pertama kali dicetuskan oleh Austin (1962). Konsep tindak tutur itu bertolak dari asumsi dasar yang menyatakan bahwa unit minimal suatu komunikasi bukan kalimat atau ekspresi lainnya, tetapi merupakan penampilan tindak tertentu seperti membuat pernyataan, bertanya, memberi perintah, meminta maaf, mengucapkan terima kasih dan mengkritik.
            Tindak tutur dapat diperikan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan melalui kegiatan pertuturan, ketika terlibat di dalam sebuah percakapan. Di pihak lain, tindak tutur dapat didefinisikan sebagai suatu unit terkecil percakapan yang mempunyai fungsi tertentu, dan tindak tutur itu adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event). Peristiwa tutur itu secara lengkap adalah wacana itu sendiri yang wujudnya mungkin dalam bentuk sebuah percakapan lengkap, penggalan percakapan di mana tindak tutur adalah unsur pembentuknya. Artinya, suatu peristiwa tutur itu terdiri atas rangkaian pengertian, tindakan, dan tanggapan.
            Sebuah percakapan lengkap tidak hanya terdiri atas tindak tutur tunggal, tetapi biasanya terdiri atas tindak tutur yang multifungsi. Labov dan Fashel (1977:29) dalam Richard (1995:7) menyatakan bahwa sebagian besar tuturan dapat dipahami sebagai pernyataan tindak tutur sekaligus. Setiap peserta tutur kelihatannya dapat memahami dan menanggapinya dalam berbagai tingkat abtraksi yang berbeda. Oleh sebab itu, fungsi utama percakapan berupa tindak tutur. Sewaktu orang berbincang-bincang, mereka mungkin pada waktu itu telah meminta orang untuk melakukan sesuatu, melarang, mengeritik, memuji, atau mengundang.Austin (1962) dalam Richard (1995:6) menyatakan bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris yang dapat dijadikan sebagai penanda tindak tutur. Kata-kata kerja yang dimaksud antara lain seperti ask (bertanya), request (meminta), direct (memimpin), require (membutuhkan), order (menyuruh), commond (memerintahkan), beg (memohon), dan plead (menuntut)(lihat juga Juita, 2012)
            Secara garis besar,  tindak tutur dapat dikelompokkan atas tindak tutur konstatif dan tindak tutur performatif. Tindak tutur konstatif disebut juga dengan tindak tutur deskriptif. Sebuah tuturan bersifat konstatif jika tuturan itu hanya difungsikan untuk mengatakan sesuatu. Selanjutnya, tindak tutur disebut sebagai tindak tutur performatif jika tuturan itu tidak hanya sekedar mengatakan sesuatu, tetapi sekaligus juga menindakkan sesuatu. Di dalam tuturan itu sekaligus terdapat dua unsur, yaitu unsur ucapan dan unsur tindak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada tindak tutur konstatif hanya terdapat tindak lokusi saja, sedangkan tindak tutur performatif mengandung tindak lokusi dan tindak ilokusi.
            Konsep  tindak tutur lokusi dan ilokusi ini diulas lebih lanjut  oleh Searle (1969:23-24) dengan menambahkan satu konsep lagi, yaitu tindak perlokusi. Tindak lokusi (locutionary act) adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut juga dengan the act of saying something. Sebuah tuturan bersifat ilokasi (ilocutionary act) jika tuturan itu tidak hanya sekedar menginformasikan sesuatu, tetapi sekaligus menindakkan sesuatu. Karena itu, tindak tutur ilokasi disebut juga sebagai the act of doing something. Selanjutnya, tindak perlokusi (perlocutinar act) adalah suatu tindak tutur yang mempunyai daya pengaruh atau efek terhadap pendengar. Karena itu, tindak tutur perlokusi dinamakan juga dengan the act o effecting someone.
            Tindak tutur lokusi ini merupakan tindak tutur yang paling sederhana, dan berkaitan langsung dengan makna sebuah proposisi. Oleh karena itu, relatif lebih mudah untuk diidentifikasi. Sebaliknya, tindak tutur ilokusi lebih sukar diidentifikasi  karena harus mempertimbangkan banyak faktor di antaranya siapa penutur dan mitra tutur, dimana dan kapan tuturan itu dilaksanakan, serta untuk apa tuturan itu digunakan.
            Jika tindak tutur lokusi dan ilokasi ditinjau dari penutur, tindak tutur perlokusi dipandang dari sudut petutur atau mitra tutur. Lebih jelasnya lagi, pada tindak tutur perlokusi yang lebih dipertimbangkan  adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh tuturan itu terhadap petutur atau  mitra tutur (Wijana dan Rohmadi, 2009:23).
            Salah seorang murid Austin, Searle (1976) (dalam Richard, 1995:7) dan Tallei (1993:44) mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan maksud penutur ketika bertutur. Klasifikasi itu terdiri atas tindak tutur asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.
            Tindak tutur asertif (assertive) disebut juga dengan tindak tutur representatif (representation). Tindak tutur asertif meliputi antara lain pemberian pernyataan, pemberian saran, pengeluhan, penuntutan, dan pelaporan. Tindak tutur direktif (directive) bertujuan menghasilkan efek tertentu melalui suatu tindak oleh pendengar. Tindak yang dimaksud antara lain memerintahkan, menyuruh, meminta, dan menasehati. Tindak tutur komisif (commisive) adalah tindak tutur yang menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap psikologi seperti mengucapakan terima kasih, memuji, menyatakan sedih, memaafkan, dan sebagainya. Tindak tutur deklaratif (declarative) adalah tindak yang sangat spesifik. Tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan. Tindak tutur jenis ini pada umumnya diucapkan oleh seseorang yang mempunyai otoritas tertentu. Misalnya,  pernyataan hakim ketika menjatuhkan hukuman, ucapan ijab kabul waktu pernikahan, dan tindakan pemecatan.
            Di samping jenis tindak tutur yang telah dipaparkan terdahulu, masih ada jenis berdasarkan pada hakikat pemakainnya. Fraser, mengelompokkannya atas tindak tutur sopan santun, tindak tutur penghormatan, dan tindak tutur tidak menghiraukan.
            Tindak tutur sopan santun biasanya ditemukan pada percakapan awal (pertama) untuk orang-orang yang baru brkenalan. Pada waktu itu kedua belah pihak menunjukkan sikap dan tindak saling menghargai dan saing menghormati dengan menggunakan tindak tutur yang seimbang pula.
            Tindak tutur penghormatan digunakan untuk situasi percakapan antara kedua belah pihak yang berbedas status sosialnya, misalnya percakapan antara pegawai dengan atasanya dan lain sebagainya. Tindak tutur tidak menghiraukan dijumpai pada dua situasi tutur yang berbeda. Situasi pertama, karena tidak sengaja. Misalnya ketika salah seorang (satu pihak) yang terlibat di dalam percakapan itu beralih perhatiannya pada masalah lain. Situasi ini ditandai dengan bentuk tutur yang terbata-bata, atau kaget karena ditanyakan kembali apa yang sedang dipercakapkan. Situasi kedua dengan sengaja, misalnya percakapan antara dua pihak yang saling bersaing atau bermusuhan.

3.  Pasangan Berdampingan
            Pasangan berdampingan dalam istilah lain dinamakan juga dengan penggalan pasangan percakapan (adjacency pairs) adalah tuturan yang dihasilkan oleh dua pihak (penutur dan petutur) secara berkesinambungan. Tuturan pertama merupakan bagian pertama pasangan, dan tuturan berikutnya merupakan bagian kedua pasangan. tuturan pertama disebut dengan stimulan, sedangkan pasangannya disebut respon.
            Levinson (1985:304) menjelaskan bahwa pasangan berdampingan ini merupakan unit dasar (fondamental) dari organisasi percakapan. (lihat juga Coulthard, 1977:70). Ketika seseorang menghasilkan sebuah tuturan yang berfungsi sebagai bagian pertama pasangan, diharapkan pihak lain (mitra tutur) akan memberikan respon (bagian kedua) yang sesuai.
            Penggalan pasangan percakapan atau pasangan berdampingan ini dapat ditemukan pada rangkaian percakapan yang lengkap, atau pada sepenggal percakapan sederhana. Sehubungan dengan hal ini, Richard (1995:11) menyimpulkan bahwa  pasangan berdampingan terdiri atas delapan kategori, yaitu penggalan salam atau tegur  sapa (greeting – greeting), panggilan – jawaban (summons – answer), keluhan – bantahan (complaint – denial), keluhan – permohonan maaf (complaint–apology), permohonan– persetujuan (request - grant), permintaan informasi - penjelasan (request for information - grant), penawaran - penerimaan (offer - accept), dan penawaran - penolakan (offer - reject).
            Kedelapan penggalan untuk pasangan berdampingan itu belum tentu selalu ditemukan di dalam suatu rangkaian percakapan. Jenis penggalan mana yang ditemukan akan sangat tergantung pada situasi, isi dan pemeran serta dalam percakapan itu. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh sebagai penambah pemahaman Anda.

4.  Pembukaan dan Penutupan
            Mekanisme bagaimana suatu percakapan dimulai dan diakhiri dinamakan dengan pembukaan dan penutupan percakapan (openings and closings). Sebuah percakapan pastilah mempunyai awal (pembukaan) dan akhir (penutupan), meskipun  kadangkala tidak mudah untuk diidentifikasi  terutama dalam percakapan spontan. Namun, menurut Richard hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena ”the openings and closings of conversations andothertypes of speech events are organized and orderly”Artinya, pembukaan dan penutupan percakapan itu selalu terorganisasi dan teratur.
            Ada dua macam pembukaan dan penutupan (Richard,  1995:11, dan Levinson, 1983:309). Pertama pembukaan sebagai tuturan awal dan penutupan sebagai tuturan akhir dalam suatu percakapan lengkap. Pada jenis ini cara yang  paling umum digunakan sebagai pembukaan adalah pasangan berdampingan dalam bentuk salam atau tegur sapa.
            Selain itu, dapat pula digunakan sebagai pembukaan dengan cara menanyakan kembali apa yang sudah pernah dipercakapkan sebelumya. Cara ini biasa digunakan untuk membuka suatu proses belajar  atau perkuliahan. Untuk penutupan biasanya diawali dengan prapenutupan yang ditandai oleh mulai tidak lancarnya percakapan atau berkurangnya semangat berbicara yang ditandai dengan turunnya intonasi. Kedua, pembukaannya dan penutupan yang dijumpai pada setiap penggalan percakapan. Pada jenis ini setiap tuturan atau rangkaian tutur yang memulai sebuah penggalan pasangan berperan sebagi pembuka percakapan, dan setiap  jawaban atau respon merupakan penutupnya. 
            Bagian dari struktur pembukaan menurut Sacks dan Schegloff (1973) dalam Syamsuddin (1997:108) berkaitan pula dengan penentuan topik percakapan. Peserta percakapan menentukan sebuah topik sebagai topik pertama melalui proses negosiasi.

5.  Pengambilan Giliran Berbicara
            Giliran berbicara diistilahkan juga dengan kesempatan berbicara (turn talking). Maksudnya, segala sesuatu yang berkenaan dengan siapa, kapan, dan berapa lama seseorang atau satu pihak memperoleh giliran untuk berbicara dalam sebuah percakapan lengkap atau dalam sebuah penggalan percakapan.
            Ada penutur yang selalu ingin mendominasi pembicaraan, dalam arti kurang memberi kesempatan kepada mitranya untuk juga berbicara. Sebaliknya, ada pula penutur yang kurang memberikan kontribusi, dalam arti kurang memberikan respon terhadap mitra tuturnya. Kedua kondisi yang digambarkan ini sama-sama tidak menguntungkan. Hal tersebut akan sama-sama mengakibatkan percakapan tidak berlangsung dengan baik, atau dapat berakhir dengan cepat.
            Untuk menghindari hal-hal seperti itu-- supaya percakapan dapat berlangsung dengan baik, faktor pengambilan giliran berbicara itu perlu diperhatikan. Pada dasarnya, pengambilan giliran atau kesempatan berbicara itu sudah mempunyai kontribusi tertentu, meskipun tidak selalu bersifat urutan. Hal ini sudah diatur oleh konvensi-konvensi yang ada di tengah-tengah masyarakat tutur. Sehubungan dengan hal itu, Schegloff dan Jefferson (1974) dalam Richard (1996:17) telah memberikan tata cara berperan serta dalam percakapan. Aturan dasarnya adalah hanya ada satu orang yang berbicara pada satu satuan waktu. Seorang penutur boleh memilih penutur boleh memilih penutur berikutnya dengan menggunakan pasangan  berdampingan.
            Aturan pengambilan giliran berbicara berbeda-beda tergantung pada jenis dan peristiwa tutur. Untuk itu, para ahli telah mengelompokkan pengambilan giliran berbicara ini atas empat jenis, yaitu giliran atomatis, giliran diatur, giliran direbut, dan giliran suka rela. Giliran otomatis sering ditemukan pada percakapan yang pesertanya hanya dua orang. Giliran diatur akan dijumpai pada percakapan-percakapan yang sifatnya rekayasa, seperti pada teks drama, film dan sinetron, serta pada percakapan-percakapan  formal, seperti diskusi dan seminar. giliran direbut akan ditemukan dalam suatu pertengkaran atau dalam diskusi bebas. Giliran suka rela akan dijumpai pada percakapan yang bersifat pertukaran pendapat. Artinya, orang yang mengerti duduk persoalannya akan mengambil kesempatan untuk berbicara.
            Pada dasarnya, pengambilan giliran berbicara adalah sebuah cara yang menunjukkan bahwa peranan dan status seseorang cukup dipertimbangkan dalam sebuah percakapan. Selain itu, pengambilan giliran berbicara juga berkaitan erat dengan pemilihan topik percakapan. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa seseorang mengambil giliran berbicara ketika mereka memiliki kontribusi terhadap topik yang sedang dipercakapkan atau ketika mereka ingin mengganti topik.
            Ada cara tertentu yang dapat dilakukan untuk terampil mengambil giliran berbicara. Keller (1976:19) dalam Richard (1995:18) mengistilahkan dengan gambits. Gambits adalah ungkapan tertentu yang digunakan sebagai sarana percakapan. Misalnya, jika seseorang ingin menyatakan suatu pendapat, dapat digunakan ungkapan ”menurut pendapat saya ...” (in my opinion). Ketika seseorang ingin menyampaikan sesuatu  yang tidak menyenangkan, dapat digunakan ungkapan ”Suka atau tidak, kita ...” (Whether we like or not). Begitu pula jika seseorang ingin menghentikan percakapan dapat dipakai ungkapan ”ya ..., sangat menyenangkan dapat berbincang-bincang dengan Anda” (Well it was nice talking to you), atau jika mitra tutur tidak menangkap apa yang dimaksud, dapat dilanjutkan dengan ungkapan ”Maaf, saya benar-benar harus pergi sekarang” (Sorry, I have really go to now).

6. Sifat Rangkaian Tuturan
            Di dalam penggalan pasangan percakapan dikenal apa yang disebut dengan rangkaian percakapan. Sifat rangkaian itu merupakan salah satu aspek yang penting juga untuk dianalisis. Sifat rangkaian itu dinamakan juga dengan linked dialog couplet atau adjacency pair coherence.
            Fungsi utama rangkaian itu adalah untuk membentuk situasi pergantian bertutur dalam rangkaian percakapan (ritual interchange), terutama di dalam penggalan pasangan yang berbentuk tanya jawab (Goffam, dalam Syamsuddin, 1997/1998:113). Sifat rangkaian itu dapat dikelompokkan kepada rangkaian berantai, rangkaian bergantung, dan rangkaian melingkar.
            Rangkaian berantai atau chaining adalah sejenis rangkaian percakapan satu lawan satu. Setiap tuturan (pertanyaan atau pernyataan) yang dikemukakan oleh penutur, langsung diberikan responnya oleh mitra tutur.
            Sifat rangkaian yang kedua adalah rangkaian bergantung atau coupling. Rangkaian  bergantung agak berbeda dari rangkaian berantai. Perbedaannya, jika pada rangkain berantai selalu terjadi selang-seling antara pemeranserta percakapan, tetapi pada rangkaian bergantung tidak demikian. Stimulus yang diberikan oleh pihak pertama (A) direspon oleh pihak kedua (B). Lalu, pihak kedua (B) memberikan stimulus lanjutan kepada pihak pertama (A).
            Bentuk rangkaian ketiga adalah rangkaian melingkar atau embedding. Bentuk rangkaian ini mempunyai perbedaan yang sangat tipis dengan rangkaian kedua. Jika pada rangkaian bergantung stimulus yang diberikan oleh pihak pertama direspon dulu sebelum balik memberikan stimulus, pada rangkaian melingkar stimulus yang diberikan pihak pertama tidak direspon langsung oleh pihak kedua. Pihak kedua justru memberikan stimulus lanjutan atau balik  bertanya. Stimulus lanjutan atau pertanyaan pihak kedua harus segera dijawab oleh pihak pertama. Setelah itu, barulah pihak kedua dapat memberikan respon terhadap stimulus awal yang diberikan pihak pertama.

7. Topik Percakapan
            Sebuah percakapan yang solit adalah percakapan yang mematuhi norma yang berkaitan dengan pemilihan topik. Coulthard dalam Richard (1995:16) mengungkapkan bahwa pertanyaan pendahuluan adalah segala sesuatu yang dapat membangkitkan topik-topik percakapan.  Selain itu, hal yang tak kalah penting dan tak boleh terabaikan  adalah  bagaimana topik dipilih untuk dibicarakan dan strategi yang digunakan oleh penutur untuk menyampaikan, mengembangkan atau mengubah topik.
            Ada dua macam topik dalam konteks percakapan, yaitu topik umum dan topik kecil-kecil. Topik umum biasanya menjadi pokok pangkal pembicaraan yang sekaligus akan menjai judul pembicaraan. Topik kecil-kecil terletak di dalam rangkaian percakapan dan sering berubah-ubah sesuai dengan rangkaian percakapan itu.
            Fungsi topik umum adalah untuk mengarahkan seluruh percakapan sehingga tidak melenceng  dari maksud semula. Topik kecil-kecil berfungsi untuk mematangkan dan lebih mengkhususkan pembahasan pada aspek-aspek tertentu.
            Kadangkala topik-topik kecil di dalam sebuah percakapan itu tidak mudah ditampilkan karena hal itu banyak berhubungan dengan aspek-aspek lain seperti kemampuan mendesak mitra oleh penutur. Hal ini dapat ditanggulangi antara lain dengan menggunakan kalimat imperatif, mengucapkan  sesuatu yang dapat menarik perhatian, dan menyodorkan hal-hal yang sesuai dengan hasrat mitra tutur.
            Di samping pemahaman tentang jenis topik, perlu pula diketahui tentang alur sebuah topik selama percakapan berlangsung. Pengetahuan tentang dunia nyata adalah salah satu sumber informasi yang dapat digunakan oleh penutur untuk memperkirakan serta mengantisipasi pertanyaan dan wacana terkait untuk topik-topik tertentu. Begitu pula, penutur juga harus mempunyai kemampuan mengenal ungkapan-ungkapan yang lazim digunakan terkait dengan peralihan topik.
           
8. Tatabahasa Percakapan
            Tatabahasa percakapan mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan tatabahasa pada jenis wacana lain, terutama sekali dengan wacana tulis. Sebuah percakapan pada umumnya tidak terdiri atas kalimat-kalimat lengkap. Artinya, satuan-satuan bahasa yang difungsikan dalam percakapan tidak memenuhi kriteria kalimat yang lengkap. Bahkan Pawley dalam Richard (1995:23) mengusulkan bahwa unit linguistik percakapan yang paling mendasar bukanlah kalimat lengkap tetapi klausa. Kebanyakan klausa yang digunakan adalah rangkaian peristiwa atau keterangan sederhana.
            Kekhususan bentuk ketatabahasaan percakapan itu mengakibatkan berbeda pula cara dan sistem penelaahan terhadap masalah itu. Persoalan yang paling menonjol pada tatabahasa percakapan antara lain adalah banyaknya ditemukan unsur yang dilesapkan atau dielipskan. Untuk itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan unsur-unsur apasajakan yang dielipskan itu?   (mungkin subjek, predikat, objek atau komplemen).
            Karena percakapan dilakukan dalam situasi langsung dan bersemuka antara pemeran serta, ada kemungkinan banyak unsur yang dielipskan.Tentu saja hal tersebut hal yang lumrah.Selain itu, sebuah percakapan langsung dan bersemuka dapat pula ditunjang oleh sejumlah unsur yang bersifat suprasegmental seperti intonasi, jeda, tekanan, mimik dan air muka. Karenanya, kalimat-kalimat yang ditampilkan tidak perlu dalam kalimat-kalimat sempurna.

9. Pembetulan
            Istilah pembetulan dalam konsep ini mengarah kepada usaha penutur dan petutur untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam suatu percakapan. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah pesan yang disampaikan sudah dapat dipahami dengan baik oleh petutur atau tidak. Pembetulan ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak, penutur dan atau petutur. Pembetulan yang dilakukan atas inisiatif penutur dinamakan dengan swapembetulan, dan pembetulan yang lain dapat dilakukan oleh petutur (Richard, 1995:19)
            Ada penanda untuk dilakukan pembetulan ini, baik secara linguistik, maupun ekstralinguistik. Strategi yang digunakan dapat dalam bentuk pendekatan, penemuan kata yang, peminjaman kata, dan peragaan.

10. Alih Kode
            Suatu percakapan tidak berlangsung secara monoton hanya dengan menggunakan satu bahasa tertentu. Kadangkala terjadi pencampura pemakaian  antara beberapa bahasa (dua atau lebih bahasa), dua  atau lebih ragam bahasa dalam sebuah peristiwa komunikasi.
            Analisis wacana lisan dapat dilakukan terhadap unsur-unsur pembentuk wacana lisan sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu. Seorang penganalisis boleh memilih hanya beberapa unsur saja yang mau dipilihnya. Jadi, tidak harus keseluruhan komponen yang terdapat di dalam wacana lisan tersebut.


D. DAFTAR RUJUKAN

Juita, Novia. 2012 “Analisis Wacana Pragmatik”  (buku ajar) Padang: Proyek Rekonstruksi Penulisan Buku Ajar dana BOPTN. Fakultas Bahasa  Universitas Negeri Padang.

Marcellino, M. 1993. “Analisis Percakapan: Telaah Tanya Jawab di Meja Hijau” dalam PELLBA 6 (Bambang Kaswanti Purwo (ed). Jakarta: Lembaga Bahasa Bahasa Unika Atma Jaya

Richard, Jack.C. 1995. Tentang Percakapan. (diterjemahkan oleh Iswari). Surabaya: Erlangga University Press.

Sukamto, Katharina Endriati. 2005. “Bentuk-bentuk Acuan dan Kesinambungan Informasi: Analisis Wacana Bahasa Indonesia” dalam PELLBA 17(Bambang Kaswanti Purwo (ed). Jakarta: Lembaga Bahasa Bahasa Unika Atma Jaya

Syamsuddin, dkk. 1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III dan Sastra.




0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 diaro | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top