Minggu, 11 Oktober 2015

 Menjadi Mahasiswa Seutuhnya

         Lebih kurang enam bulan sudah berlalu sejak pelaksanaan ujian nasional (UN) SMA/SMK sederajat dilaksanakan dan ditetapkannya kelulusan bagi siswa-siswi SMA/SMK sederajat. Status sebagai pelajar menengah atas atau kejuruan telah dituntaskan bagi mereka para siswa yang telah lulus ujian nasional dari bangku sekolah masing-masing. Status tersebut kemudian berubah menjadi mahasiswa bagi mereka yang telah lulus di perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Ada istilah keren yang melekat bagi mereka yaitu sebutan sebagai mahasiswa baru (MABA). Tentunya sangat lah membanggakan bagi masing-masing mereka menjadi mahasiswa yang stratanya dalam kasta pendidikan paling tinggi. Dan juga suatu kebanggaan bagi orang tua mereka.
           Namun sadarkah mereka akan status yang saat ini mereka sandang? Masihkah hal-hal konyol yang dulu mereka lakukan dan dianggap keren seperti cabut, bolos, ataupun nongkrong tanpa peduli waktu, masih dilakukan? Atau malah sebaliknya hal-hal yang menjadi prioritas utama bagi sebagian besar pelajar sekolah menengah seperti rajin, datang tepat waktu, pulangpun tepat waktu, belajar, mengerjakan tugas, hingga mungkin mereka telah menjadi budak oleh semua hal-hal yang menjadi rutinitas, katakanlah bagi pelajar yang orientasinya adalah bagaimana menjadi paling unggul dalam memperoleh nilai. Hingga pada akhirnya mereka lupa akan bermain, tidak ada waktu untuk berkumpul dengan teman-teman walau hanya sebentar, hingga menghantarkan mereka menjadi sosok yang apatis dan hanya tahu bagaimana baik bagi dirinya sendiri.  Tentu bukan seperti itu lagi saat kita sudah jadi mahasiswa. Walaupun status sebagai mahasiswa baru masih melekat, bukan berarti kata “baru” tersebut menjadi kambing hitam untuk memberikan statement saat ditanya, “kok udah jadi mahasiswa masih gitu juga?” “Kan baru jadi mahasiswa!”
            Siapapun mahasiswa, tentu pernah menjadi yang namanya mahasiswa baru. Sosok yang polos dengan keluguannya atau lugu dengan kepolosannya akan mudah ditebak dari bagaimana tingkah mereka di kampus. Namun pada fase-fase berikutnya tentu akan mulai berubah dari kepolosan dan keluguan tersebut. Mereka sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan baru mereka dan mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Hingga status mahasiswa baru mulai terkikis dan habis yang kemudian berganti menjadi “mahasiswa”. Lalu siapakah sesungguhnya mahasiswa itu?
Jika kita meminjam sebait puisi karya Taufiq Ismail yang katanya seperti ini:
“Mahasiswa takut pada Dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada Rektor
Rektor taku pada Menteri
Menteri takut pada Presiden
Dan Presiden takut pada mahasiswa”
         Jika kita melihat isi dari bait puisi ini agaknya mahasiswa ditempatkan pada lini depan sekaligus belakang dari maju mundurnya suatu Negara. Jika para petinggi negeri katakan lah itu anggota DPR, Gubernur, ataupun Presiden sekalipun, bisa menyerah oleh pergerakan mahasiswa, namun pada saat yang sama banyak juga mahasiswa yang angkat tangan di hadapan dosen. Meski tidak banyak kasus seperti ini, namun dapat disimpulkan bahwa hanya segelintir mahasiswa yang mau melibatkan diri sebagai agen perubahan, apakah itu tergabung dalam gerakan-gerakan mahasiswa, atau setidaknya menjadi bagian dari struktur organisasi kemahasiswaan.
            Mahasiswa adalah aset paling berharga bagi bangsa ini. Sosok mereka sangat dinantikan oleh masyarakat untuk mampu mengubah bangsa ini dari stagnanisasi menuju kedinamisan pemikiran. Sebagai kaum intelektual dan kritis, mahasiswa mesti peka terhadap realita yang terjadi di negeri saat ini dan tidak hanya jadi pengamat. Kekritisannya diharapkan mampu menyumbangkan ide dan gagasan-gagasan yang cemerlang untuk kemajuan bangsa. Keberadaannya menjadi pelita dalam gelapnya sistem birokrasi di negeri ini. Kekritisannya hendaknya mampu memunculkan kepermukaan akan bobroknya sistem birokrasi yang dibangun saat ini oleh pemegagng kekuasaan. Sehingga hal itu mampu mencerdaskan masyarakat tentang realita yang terjadi di negeri ini.
             Kembali pada bait puisi karya Taufiq Ismail di atas, puisi tersebut dibuat pada saat reformasi. Munculnya gerakan reformasi ini karena masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan UUD 1945. Pada peristiwa ini ribuan mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Indonesia melakukan aksi turun ke jalan dan meminta Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya. Hingga akhirnya rezim orde baru ini berhasil digulingkan oleh mahasiswa pada aksi yang paling heroik yang kita kenal dengan Gerakan Mahasiswa 1998 dan digantikan oleh masa reformasi yang sudah hampir 16 tahun berdiri hingga saat ini.
           Dari kisah di atas dapat kita simpulkan betapa mahasiswa telah menjadi pion perubahan dalam menggeser kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang tumbuh subur pada saat itu. Mahasiswa telah berada di lini terdepan sebagai sosok pembawa perubahan untuk negeri ini. Hingga saat ini Gerakan 98 tersebut telah menjadi api untuk membakar semangat mahasiswa dalam melakukan aksi turun ke jalan untuk menyuarakan ketidak adilan pemerintah saat ini. Maka sangat picik sekali rasanya jika ada mahasiswa yang lupa dengan gerakan tersebut. Dan lebih parahnya lagi sikap apatis akan realita yang terjadi saat ini dan keegoisan individual demi menggapai gelar akademis. Oleh karenanya mahasiswa diharapkan mampu menjadi akademisi yang multifunsi, bukan sekedar professional dalam bidangnya, namun harus kritis terhadap wacana-wacana birokrasi dan menstimulus roda pemerintahan yang mengalami kemandekan.
          Sebagai sosok yang sering disebut-sebut sebagai The Graduation Values yang menjadi penjaga nilai-nilai bangsa, mahasiswa harus berani menyuarakan pro dan kontra terhadap  kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta mampu memberikan masukan yang solutif untuk pemerintah saat ini. Jika kita tidak menutup mata, tentu kita akan sadar betapa bangsa saat ini mengalami yang namanya krisis kepemimpinan. Orang-orang yang dipercayai rakyat untuk membangun bangsa ini kearah yang lebih baik, justru sebaliknya. Banyak kebijakan-kebijakan yang justru mencederai hak rakyat. Pemerintah saat ini seperti terlena akan jabatan yang telah diperoleh. Seakan-akan jabatan itu adalah ranah kerja untuk menghidupi keluarga mereka, bukan menjadi amanah yang mesti dituntaskan dengan baik demi kemaslahatan bangsa. Cita-cita luhur yang dirayukan kepada rakyat hanya sebatas alat untuk mengobral diri mereka agar menjadi pilihan rakyat. Namun saat keinginan sudah didapatkan, rakyat kembali terlupakan.
          Sekali lagi, sebagai kaum intelektual mahasiswa harus berani mengingatkan pemerintah akan janji-janji yang telah mereka sampaikan kepada rakyat. Mahasiswa adalah pemegang tonggak utama sebuah bangsa dan Negara. Mahasiswa adalah penyeimbang dan pengontrol laju pemerintahan. Mahasiswa harus mampu bersikap solutif terhadap isu-isu serta masalah yang kian melilit bangsa. Maka dengan demikian barulah mahasiswa dapat dikatakan Agent of Change dan Social Control.
        Oleh karena nya sebagai mahasiswa yang sadar akan perannya di tengah-tengah masyarakat, maka sudah jadi keharusan untuk mengubah pola pikir dari sikap apatis menuju sosialis. Mulai lah melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa, ataupun mengambil peran dalam struktur keorganisasian di dalam maupun di luar kampus. Setidaknya saling bertukar pikiran dengan mereka yang juga memikirkan bangsa ini akan menghantarkan kita menjadi sosok mahasiswa seutuhnya.



Menjadi Mahasiswa Seutuhnya

Read More

Senin, 05 Oktober 2015


PEMANTAPAN PEMAHAMAN TOKOH PEMUDA DAN PEREMPUAN TENTANG PENCEGAHAN RADIKALISME DAN TERORISME DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Read More

Copyright © 2015 diaro | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top