Menjadi Mahasiswa Seutuhnya
Lebih
kurang enam bulan sudah berlalu sejak pelaksanaan ujian nasional (UN) SMA/SMK
sederajat dilaksanakan dan ditetapkannya kelulusan bagi siswa-siswi SMA/SMK
sederajat. Status sebagai pelajar menengah atas atau kejuruan telah dituntaskan
bagi mereka para siswa yang telah lulus ujian nasional dari bangku sekolah
masing-masing. Status tersebut kemudian berubah menjadi mahasiswa bagi mereka
yang telah lulus di perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Ada istilah keren
yang melekat bagi mereka yaitu sebutan sebagai mahasiswa baru (MABA). Tentunya
sangat lah membanggakan bagi masing-masing mereka menjadi mahasiswa yang
stratanya dalam kasta pendidikan paling tinggi. Dan juga suatu kebanggaan bagi
orang tua mereka.
Namun
sadarkah mereka akan status yang saat ini mereka sandang? Masihkah hal-hal
konyol yang dulu mereka lakukan dan dianggap keren seperti cabut, bolos,
ataupun nongkrong tanpa peduli waktu, masih dilakukan? Atau malah sebaliknya
hal-hal yang menjadi prioritas utama bagi sebagian besar pelajar sekolah
menengah seperti rajin, datang tepat waktu, pulangpun tepat waktu, belajar,
mengerjakan tugas, hingga mungkin mereka telah menjadi budak oleh semua hal-hal
yang menjadi rutinitas, katakanlah bagi pelajar yang orientasinya adalah
bagaimana menjadi paling unggul dalam memperoleh nilai. Hingga pada akhirnya
mereka lupa akan bermain, tidak ada waktu untuk berkumpul dengan teman-teman
walau hanya sebentar, hingga menghantarkan mereka menjadi sosok yang apatis dan
hanya tahu bagaimana baik bagi dirinya sendiri. Tentu bukan seperti itu lagi saat kita sudah
jadi mahasiswa. Walaupun status sebagai mahasiswa baru masih melekat, bukan
berarti kata “baru” tersebut menjadi kambing hitam untuk memberikan statement saat ditanya, “kok udah jadi
mahasiswa masih gitu juga?” “Kan baru jadi mahasiswa!”
Siapapun mahasiswa, tentu pernah menjadi yang
namanya mahasiswa baru. Sosok yang polos dengan keluguannya atau lugu dengan
kepolosannya akan mudah ditebak dari bagaimana tingkah mereka di kampus. Namun
pada fase-fase berikutnya tentu akan mulai berubah dari kepolosan dan keluguan
tersebut. Mereka sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan baru mereka dan
mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Hingga status mahasiswa baru
mulai terkikis dan habis yang kemudian berganti menjadi “mahasiswa”. Lalu
siapakah sesungguhnya mahasiswa itu?
Jika kita meminjam
sebait puisi karya Taufiq Ismail yang katanya seperti ini:
“Mahasiswa
takut pada Dosen
Dosen
takut pada Dekan
Dekan
takut pada Rektor
Rektor
taku pada Menteri
Menteri
takut pada Presiden
Dan
Presiden takut pada mahasiswa”
Jika kita melihat isi dari bait
puisi ini agaknya mahasiswa ditempatkan pada lini depan sekaligus belakang dari
maju mundurnya suatu Negara. Jika para petinggi negeri katakan lah itu anggota
DPR, Gubernur, ataupun Presiden sekalipun, bisa menyerah oleh pergerakan
mahasiswa, namun pada saat yang sama banyak juga mahasiswa yang angkat tangan
di hadapan dosen. Meski tidak banyak kasus seperti ini, namun dapat disimpulkan
bahwa hanya segelintir mahasiswa yang mau melibatkan diri sebagai agen
perubahan, apakah itu tergabung dalam gerakan-gerakan mahasiswa, atau
setidaknya menjadi bagian dari struktur organisasi kemahasiswaan.
Mahasiswa adalah aset paling
berharga bagi bangsa ini. Sosok mereka sangat dinantikan oleh masyarakat untuk
mampu mengubah bangsa ini dari stagnanisasi menuju kedinamisan pemikiran.
Sebagai kaum intelektual dan kritis, mahasiswa mesti peka terhadap realita yang
terjadi di negeri saat ini dan tidak hanya jadi pengamat. Kekritisannya
diharapkan mampu menyumbangkan ide dan gagasan-gagasan yang cemerlang untuk
kemajuan bangsa. Keberadaannya menjadi pelita dalam gelapnya sistem birokrasi
di negeri ini. Kekritisannya hendaknya mampu memunculkan kepermukaan akan bobroknya
sistem birokrasi yang dibangun saat ini oleh pemegagng kekuasaan. Sehingga hal
itu mampu mencerdaskan masyarakat tentang realita yang terjadi di negeri ini.
Kembali pada bait puisi karya
Taufiq Ismail di atas, puisi tersebut dibuat pada saat reformasi. Munculnya
gerakan reformasi ini karena masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto,
dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran
dan makmur dalam keadilan berdasarkan UUD 1945. Pada peristiwa ini ribuan
mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Indonesia melakukan aksi turun ke
jalan dan meminta Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya. Hingga
akhirnya rezim orde baru ini berhasil digulingkan oleh mahasiswa pada aksi yang
paling heroik yang kita kenal dengan Gerakan Mahasiswa 1998 dan digantikan oleh
masa reformasi yang sudah hampir 16 tahun berdiri hingga saat ini.
Dari kisah di atas dapat kita
simpulkan betapa mahasiswa telah menjadi pion perubahan dalam menggeser
kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang tumbuh subur pada saat itu.
Mahasiswa telah berada di lini terdepan sebagai sosok pembawa perubahan untuk
negeri ini. Hingga saat ini Gerakan 98 tersebut telah menjadi api untuk
membakar semangat mahasiswa dalam melakukan aksi turun ke jalan untuk
menyuarakan ketidak adilan pemerintah saat ini. Maka sangat picik sekali
rasanya jika ada mahasiswa yang lupa dengan gerakan tersebut. Dan lebih
parahnya lagi sikap apatis akan realita yang terjadi saat ini dan keegoisan
individual demi menggapai gelar akademis. Oleh karenanya mahasiswa diharapkan
mampu menjadi akademisi yang multifunsi, bukan sekedar professional dalam
bidangnya, namun harus kritis terhadap wacana-wacana birokrasi dan menstimulus roda
pemerintahan yang mengalami kemandekan.
Sebagai sosok yang sering
disebut-sebut sebagai The Graduation
Values yang menjadi penjaga nilai-nilai bangsa, mahasiswa harus berani
menyuarakan pro dan kontra terhadap
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta mampu
memberikan masukan yang solutif untuk pemerintah saat ini. Jika kita tidak
menutup mata, tentu kita akan sadar betapa bangsa saat ini mengalami yang
namanya krisis kepemimpinan. Orang-orang yang dipercayai rakyat untuk membangun
bangsa ini kearah yang lebih baik, justru sebaliknya. Banyak kebijakan-kebijakan
yang justru mencederai hak rakyat. Pemerintah saat ini seperti terlena akan
jabatan yang telah diperoleh. Seakan-akan jabatan itu adalah ranah kerja untuk
menghidupi keluarga mereka, bukan menjadi amanah yang mesti dituntaskan dengan
baik demi kemaslahatan bangsa. Cita-cita luhur yang dirayukan kepada rakyat
hanya sebatas alat untuk mengobral diri mereka agar menjadi pilihan rakyat.
Namun saat keinginan sudah didapatkan, rakyat kembali terlupakan.
Sekali lagi, sebagai kaum
intelektual mahasiswa harus berani mengingatkan pemerintah akan janji-janji
yang telah mereka sampaikan kepada rakyat. Mahasiswa adalah pemegang tonggak
utama sebuah bangsa dan Negara. Mahasiswa adalah penyeimbang dan pengontrol
laju pemerintahan. Mahasiswa harus mampu bersikap solutif terhadap isu-isu
serta masalah yang kian melilit bangsa. Maka dengan demikian barulah mahasiswa
dapat dikatakan Agent of Change dan Social Control.
Oleh karena nya sebagai mahasiswa
yang sadar akan perannya di tengah-tengah masyarakat, maka sudah jadi keharusan
untuk mengubah pola pikir dari sikap apatis menuju sosialis. Mulai lah
melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa, ataupun mengambil peran dalam
struktur keorganisasian di dalam maupun di luar kampus. Setidaknya saling
bertukar pikiran dengan mereka yang juga memikirkan bangsa ini akan menghantarkan kita menjadi sosok mahasiswa seutuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar