BAB 1
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan wujud dari
hasil pemikiran manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan
diapresiasi. Dalam hal ini setiap penulis memiliki cara dalam mengemukakan
gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya.
Secara menyeluruh kajian stilistika berperan untuk membantu menganalisis dan
memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra.
Karya sastra sebagai kajian dari
stilistika yang menggunakan gaya bahasa sastra sebagai media untuk menemukan
nilai estetisnya. Aminuddin (1997—67) mengemukakan terdapat jenis karya
sastra yaitu puisi dan prosa fiksi. Dalam hal ini perbedaan karakteristik karya
sastra mengakibatkan perbedaan dalam tahapan pemaknaan dan penafsiran ciri dan
penggambarannya. Pengarang memiliki kreativitas masing-masing dan setiap karya
yang dihasilkan memperhatikan kebaharuan dan perkembangan sosial budaya.
Misalnya puisi sebagai objek kajian yang dianalisis. Setiap orang tentunya
memiliki pendapat dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap suatu puisi.
Perbedaan itu muncul pula pada pemahaman seseorang. Stilistika akan muncul
dengan kekhasan bahasa yang digunakan dan akan sangat berbeda dengan penggunaan
bahasa sehari-hari.
Sastra
terbagi atas dua jenis yaitu sastra lama dan modern. Sastra ini menjadi objek
yang diamati dalam penelitian sastra, sastra modern dapat meliputi puisi, prosa
maupun drama. Berdasarkan hal tersebut menurut Ratna (2009:19) dari ketiga
jenis sastra modern dan sastra lama, puisilah yang paling sering digunakan
dalam penelitian stilistika. Puisi memiliki ciri khas yaitu kepadatan pemakaian
bahasa sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri
stilistika. Dibandingkan dengan prosa yang memiliki ciri khas pada cerita (plot)
sedangkan ciri khas drama pada dialog.
Pada
lingkupnya puisi diciptakan oleh seseorang dengan melukiskan dan
mengekspresikan watak-watak yang penting si pengarang, bukan hanya menciptakan
keindahan. Aminuddin (1997—65) menyatakan dalam puisi misalnya membutuhkan
efek-efek emotif yang mempengaruhi karya sastra. Memperoleh efek-efek tersebut
dapat melalui kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan tanda baca, cara penulisan
dan lain sebagainya.
1.
Pengertian Stilistika
Berbicara
tentang stilistika merupakan sesuatu hal yang tidak mudah karena di dalamnya
kata stilistika itu berasal dari kata style
yang secara umum diberi makna atau disinonimkan dengan kata “gaya” (Semi,
2008:1)
Stilistika
(stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara
etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yaitu gaya.
Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra.
Penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa yang
muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek
seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang penyair
mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan melalui keindahan dengan
gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011:72—73).
Selanjutnya
Turner (dalam Pradopo, 1993: 264) mengartikan stilistika adalah ilmu yang
mempelajari gaya bahasa yang merupakan bagian linguistik yang memusatkan pada
variasi-vatriasi penggunaan bahasa tetapi tidak secara eksklusif memberikan
perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang kompleks pada kesusastraan. Menurut
Sudjiman (1993:13) pengertian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis
untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai saran. Dengan
demikian style dapat diterjemahakan
sebagai gaya bahasa.
Ratna
(2009:167) secara definisi stilisistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya
dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih mengacu pada gaya bahasa. Menurut
Teeuw (dalam Fananie, 2000:25) stilistika merupakan sarana yang dipakai
pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika merupakan suatu cara
untuk mengungkapakan pikiran, jiwa, dan kepribadian pengarang dengan cara
khasnya.
Melalui
ide dan pemikirannya pengarang membentuk konsep gagasannya untuk menghasilkan
karya sastra. Aminuddin (1997:68) mengemukakan stilistika adalah wujud dari
cara pengarang untuk menggunakan sistem tanda yang sejalan dengan gagasan yang
akan disampaikan. Namun yang menjadi perhatian adalah kompleksitas dari
kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran kajian adalah
wujud penggunaan sistem tandanya.
Secara
sederhana menurut Sudiman dikutip Nurhayati (2008:8) “Stilistika adalah ilmu
yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra”. Konsep
utamanya adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa. Bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan karyanya dengan dasar dan pemikirannya sendiri.
Dalam
hal ini untuk memahami konsep stilistik secara seksama Nurhayati (2008:7)
mengemukakan pada dasarnya stilistika memiliki dua pemahaman dan jalan
pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut menekankan pada aspek gramatikal
dengan memberikan contoh-contoh analisis linguistik terhadap karya sastra yang
diamati. Selain itu pula stillistika mempunyai pertalian juga dengan
aspek-aspek sastra yang menjadi objek penelitiannya adalah wacana sastra. Stilistika secara definitif adalah ilmu yang
berkaiatan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak
mengacu pada gaya bahasa. Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan
ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia
(Ratna, 2011:167).
Berdasarkan
pengertian stilistika menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
stilistika adalah cabang linguistik yang mempelajari tentang gaya bahasa.
Penggunaan gaya bahasa menimbulkan efek tertentu yang berkaitan dengan
aspek-aspek keindahan yang merupakan ciri khas pengarang untuk mencapai suatau tujuan yaitu
mengungkapakan pikiran, jiwa, dan kepribadaiannya.
2.
Tujuan Kajian Stilistika
Stilistika
sebagai salah satu kajian untuk menganalisis karya sastra. Endraswara (2011:72)
mengemukakan bahasa sastra memiliki tugas mulia. Bahasa memiliki pesan
keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra
menjadi hambar. Keindahan suatu sastra dipengaruhi oleh kemampuan penulis
mengolah kata. Keindahan karya sastra juga memberikan bobot penilaian pada
karya sastra itu. Selain itu, menurut Sudjiman dikutip Nurhayati (2008:11)
mengemukakan titik berat pengkajian stilistik adalah terletak pada penggunaan
bahasa dan gaya bahasa suatu sastra, tetapi tujuan utamanya adalah meneliti
efek estetika bahasa. Keindahan juga merupakan bagian pengukur dan penentu dari
sebuah sastra yang bernilai.
3.
Sumber Objek Penelitian Stilistika
Penelitian
stilistika menuju kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa yang khas.
Menurut Ratna (2009:14) bahasa yang khas bukan pengertian bahwa bahasa dan
sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri khasnya
yaitu pada proses pemilihan dan penyusunan kembali. Hal tersebut merupakan
analog dengan kehidupan sehari-hari dan merupakan proses seleksi, manipulasi
dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa yang memiliki unsur estetis, berbagai
fungsi mediasi, dan emonsionalitas.
Dalam
hal ini kekuatan dalam karya seni adalah kekuatan untuk menciptakan kombinasi
baru, bukan objek baru. Dengan demikian seperti yang telah dikemukan sebelumnya
jenis sastra puisilah yang dianggap sebagai objek utama stilistika. Puisi
memiliki medium yang terbatas sehingga keterbatasannya sebagai totalitas puisi
yang hanya terdiri dari beberapa baris harus mampu menyampaikan pesan sama
dengan sebuah cerpen, bahkan juga novel yang terdiri atas banyak jumlah
halaman.
4.
Pendekatan dalam Stilistika
Melalui
stilistika dapat dijabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Berdasarkan hal itu,
Wellek, dan Warren (1993:226) menyatakan ada dua kemungkinan pendekatan
analisis stilistika dengan cara semacam itu. Yang pertama di analisis secara
sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, kemudian membahas
interprestasi tentang ciri-cirinya dilihat berdasarkan makna total atau makna
keseluruhan. Melalui hal ini akan muncul sistem linguistik yang khas dari karya
atau sekelompok karya. Pendekatan yang kedua yaitu mempelajari sejumlah ciri
khas membedakan sistem satu dengan yang lainnya. Analisis stilistika adalah
dengan mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inversi susunan
kata, susunan hirarki klausa yang semuanya mempunyai fungsi estetis penekanan,
atau membuat kejelasan, atau justru kebalikannya yang membuat makna menjadi
tidak jelas.
Sejalan
dengan pernyataan di atas dalam kajian stilistik dipengaruhi oleh karya sastra
dan bentuk pendekatan yang digunakan. Nurhayati (2008:13—20) mengemukakan lima
pendekatan yang dapat digunakan yaitu, sebagai berikut:
1.
Pendekatan
Halliday
Dalam
pendekatan ini Halliday mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori dan
metode-metode linguistik deskriptif dapat diaplikasikan ke dalam analisis
teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks yang lainnya. Melalui hal
ini analisis bukan hanya kepada interprestasi atau evaluasi estetika terhadap
pesan-pesan sastra yang dianalisisnya tetapi hanya kepada deskripsi unsur-unsur
bahasa. Dalam kajiannya ia tidak mengungkapkan bagaimana bentuk-bentuk verbal
tersebut disusun sehingga berhubungan dengan bentuk lainnya pada hubungan intra-tekstual.
2.
Pendekatan
Sinclair
Pendekatan
ini searah dengan teori pendekatan Halliday. Ia menerapkan kategori-kategori
deskripsi linguistik Halliday. Sinclair mengemukakan terdapat dua aspek yang
berperan penting dalam pengungkapan pola-pola intratekstual karya sastra.
3.
Pendekatan
Goeffrey Leech
Leech
mengemukakn bahwa karya sastra mengandung dimensi-dimensi makna tambahan yang
beroperasi pula di dalam wacana lainnya. Leech mengungkapkan tiga gejala
ekspresi sastra, yaitu cohesion, foregrounding, dan cohesion
of foregrounding. Ketiga gejala ekspresi ini menghadirkan dimensi-dimensi
makna yang berbeda yang tidak tercakup oleh deskripsi linguistik dengan
kategori-kategori normalnya. Cohesion merupakan hubungan interatekstual
antara unsur gramatikal dengan unsur leksikal yang jalin-menjalin dalam sebuah
teks sehingga menjadi sebuah unit wacana yang lengkap. Foregrounding merupakan
gejala khas yang hanya terdapat dalam karya sastra. Sedangkan cohesion of
foregrounding adalah penyimpangan-penyimpangan dalam teks yang dihubungkan
dengan bentuk lain untuk membentuk pola-pola intratekstual.
4.
Pendekatan
Roman Jakobson
Pendekatan
ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah penggunaan bahasa yang
berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri. Tulisan sastra tidak
seperti bentuk-bentuk lainnya. Dalam tulisan sastra ditemukan pesan yang
berpusat pada pesan itu sendiri.
5.
Pendekatan
Samuel R. Levin
Pendekatan
Levin dalam analisis stilistika serupa dengan pendekatan Halliday dan Sinclair
yang berpusat pada analisis butir-butir linguistik. Levin juga mengembangkan
gagasan kesejajaran yang juga dikemukakan oleh Jakobson. Dalam hal ini
kesejajaran tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan semantik yang
untuk menghasilkan ciri-ciri struktural.
5. Teori yang Berhubungan dengan Kajian
Stilistik
Pembentuk utama unsur puisi selain bahasa adalah keindahan.
Pada dasarnya kajian stilistika dikemukakan beberapa teori-teori yang
berhubungan. Menurut Nurhayati (2008:30—38) teori-teori tersebut digunakan
untuk menganalisis bahasa. Teori tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Diksi, pemilihan kata sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh
pemadatan. Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata. Penyair
harus cermat agar komposisi bunyi rima dan irama memiliki kedudukan yang sesuai
dan indah. Selain itu, Tarigan (2011:29) mengemukakan diksi adalah pilihan kata
yang digunakan oleh penyair. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang,
waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam suatu puisi.
2) Citraan, merupakan
penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran,
ide, pernyataan, pikiran dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera
yang istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah citraan yang meliputi
gambaran angan-angan dan pengguna bahasa yang menggambarkan angan-angan
tersebut, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Secara
spesifik Tarigan (2011:31) dalam menciptakan karya penyair berusaha
membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga merekalah yang benar-benar
mengalami peristiwa dan perasaan tersebut. Penyair berusaha agar penikmat dapat
melihat, merasakan mendengar, dan menyentuh apa yang ia alami dan rasakan.
3) Kata-kata konkret,
merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa
yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Tarigan (2011:32) mengungkapkan salah
satu cara membangkitkan daya bayang imajianasi para penikmat puisi adalah
menggunakan kata-kata yang tepat, kata yang dapat menyarankan suatu pengertian
secara menyeluruh.
4) Bahasa figuratif, untuk
memperoleh kepuitisan, penyair menggunakan bahasa figuratif, yaitu bahasa
kiasan atau majas. Menurut Endraswara (2011:73) terdapat dua macam bahasa
kiasan atau stilistik kiasan, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik
meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, polisndeton, dan sebagainya. Sedangkan
gaya kiasan amat banyak ragamnya antara lain alegori, personifikasi, simile,
sarkasme, dan sebagainya. Menurut Ratna (2011:164) majas (figure of speech)
adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam
rangka memperoleh aspek keindahan.
5) Rima dan ritma, merupakan
pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi
merdu bila dibaca. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah
aliterasi, asonansi, dan rima akhir. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang
teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang teratur. Gerak
yang teratur tersebut di sebut ritma atau rhythm. Tarigan (2011:35) mengatakan
rima dan ritma memiliki pengaruh untuk memperjelas makna puisi. Dalam
kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara
teratur, sedangkan rima adalah persamaan bunyi.
6.
Struktur Batin Puisi
Struktur
batin puisi pula yang menjadi salah satu unsur pembentuk puisi. Struktur batin
berperan untuk menjiwai sebuah puisi. Dalam hal ini menurut Nurhayati
(2008:40—43) hakikat puisi terdiri atas beberapa komponen yang membangun sebuah
puisi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tema (sense), merupakan gagasan atau
ide pokok dalam suatu kajian puisi. Hal yang menjadi pokok persoalan dalam
puisi tersebut. Setiap puisi memiliki pokok persoalan yang hendak di sampaikan
kepada pembacanya. Selain itu menurut Tarigan (2011:10—11) dalam puisi memiliki
subject matter yang hendak dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman penyair. Makna yang terkandung dalam subject
matter adalah sense atau tema dalam puisi tersebut.
2)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang
terdapat dalam puisinya. Dalam hal ini pada umumnya setiap penyair tentunya
akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu karya. Menurut Tarigan
(2011:12) rasa/felling yaitu merupakan sikap penyair terhadap pokok
permasalahan yang ada pada puisinya.
3)
Nada (tone), merupakan refleksi sikap penyair terhadap pembacanya, baik
suasana hati, dan pandangan moral, dan terkadang muncul pula karakter
kepribadian pengarangnya tercemin dalam puisi. Penyair pula menunjukkan
sikapnya kepada pembacanya, misalnya dengan sikap menggurui, menyindir atau
bersifat lugas.
4)
Amanat (intention) atau tujuan merupakan hal yang mendorong penyair
untuk menciptakan suatu puisinya. Dalam hal ini penyair menciptakan puisinya
dan tersirat secara tidak langsung muncul melalui di balik tema yang
diungkapkan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sajak
“Kepada Peminta-minta” karya Chairil Anwar
Kepada Peminta-minta
Oleh: Chairil Anwar
Baik,
baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi jangan lagi tentang aku
Nanti
darahku jadi beku
Jangan
lagi kau bercerita
Sudah
tercacar semua di muka
Nanah
meleleh dari luka
Sambil
berjalan kau usap juga
Bersuara
tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau menendang
Menetes
dari suasana kau datang
Sembarang
kau merebah
Mengganggu
dalam mimpiku
Menghempas
aku di bumi keras
Di
bibirku terasa pedas
Mengaum
di telingaku
Baik,
baik aku akan menghadap ia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi
jangan tentang lagi aku
Nanti
darahku jadi beku.
(Chairil
Anwar, 2012:107)
2.
Analisis Sajak “Kepada Peminta-minta” karya
Chairil Anwar
1) Diksi
Diksi
dalam puisi “Kepada Peminta-minta” memiliki makna kiasan yang harus dipahami
secara seksama. Tokoh aku dan dia memerlukan interprestasi sendiri untuk
menentukannya. Hal ini dalam setiap maksudnya memerlukan pemahaman yang
menyeluruh. Secara umum puisi ini juga sulit untuk dipahami, terdapat
penafsiran tertentu. Dengan demikian penggunaan kata konotatif dalam puisi
tersebut cukup menjadi perhatian.
Penyair
menggunakan kata-kata tersebut untuk mengungkapkan sesuatu. Sesuatu itulah yang
dinamakan makna konotatif. Jadi, penggunaan kata konotatif dilakukan untuk
menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Penggunaan kata konotatif juga untuk
menciptakan efek estetis. Sesuai dengan judulnya, puisi tersebut banyak
menggunakan kata konotasi. Misalnya pada baris ke empat Nanti darahku jadi
beku. Hal ini merupakan makna konotasi yang memerlukan penafsiran. Terdapat
pula makna konotasi pada baris ke enam Sudah tercacar semua di muka.
Secara keseluruhan puisi ini memiliki makna kiasan yang perlu untuk ditelaah
sebelumnya. Bukan jenis citraan yang mengandung makna denotasi yang secara umum
mudah untuk langsung dipahami.
Pemilihan
kata pada baris genap tidak terlepas dari kata yang digunakan pada dua baris
pertama. Misalnya pada baris pertama penyair mengatakan dia akan menghadap Dia,
maka pada baris kedua kata menyerahkan diri dan segala dosa dirasa sangat cocok
konteksnya. Pada baris ketiga dan keempat penyair meminta untuk jangan
menentang dirinya lagi, maka darahnya akan menjadi beku, hal ini sesuai
konteksnya. Pada baris kelima dan keenam penyair meminta untuk jangan bercerita
lagi, semua sudah tercacar dimuka. Baris ketujuh dan kedelapan penyair nanah
meleleh dari luka sambil berjalan kau usap juga. Dari hal itu terlihat
pemilihan kata yang tepat sekali yang digunakan oleh penyair.
Pilihan
kata (diksi) dalam puisi “Kepada Peminta-minta” mempunyai efek kecewa,
menyerah, letih, terluka, sedih, berat, dan risau. Hal itu dapat terlihat
dari penggunaan kata: menyerahkan diri, tentang, luka, tercacar, meleleh,
menghempas, mengerang, merebah, menetas. Sedangkan adanya risau terlihat
dari apa yang di ungkap oleh penyair yaitu: mengganggu, menghempas, merasa
pedas dan mengaum di telinga. Selain itu, penyair juga menggunakan pilihan
kata yang menciptakan efek letih, menyerah, kecewa, terluka, dan risau.
Kesimpulan dari analisis gaya kata adalah puisi “Kepada Peminta-minta” selain
menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan juga menggunakan efek
estetis.
2)
Citraan
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan
pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi
melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk
menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan
setiap pengalaman indera yang istimewa. Citraan dibuat dengan pemilihan kata
(diksi). Dalam puisi “Kepada Peminta-minta” penyair memanfaatkan citraan untuk
menghidupkan imajinasi pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Citraan
visual (penglihatan) terlihat pada baris 1, dan 10 yaitu menghadap dan memandang.
Citraan perabaan terdapat pada baris 8, yaitu kata usap. Memaknai usap dapat
dirasakan dengan indera perabaan. Citraan pendengaraan terlihat pada baris 9
dan 16, yaitu pada kata bersuara dan mengaum. Dalam hal ini kata bersuara
dan mengaum dapat dirasakan oleh indera pendengaran. Selain itu pula
terdapat citraan pengecap yaitu pada baris 15 pada kata pedas.
Rasa pedas dapat dirasakan melalui indera pengecap. Kesimpulannya adalah
puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imajinasi
pembaca dalam merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Citraan membantu
pembaca dalam menghayati makna puisi. Puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan
citraan visual (penglihatan), pendengaran, pengecap dan citraan perabaan.
3)
Kata-Kata Konkret
Pada
puisi ini ditemukan diksi yang berupa kata-kata konkret yang dapat
membangkitkan citraan seperti berjalan, melangkah, mengempas, merebah
menunjukkan citraan gerak dan beberapa citraan lainnya. Kata-kata kongkret
tersebut jelas menunjukkan sikap tindakan baik dari si peminta-minta maupun
pengarang. Kata-kata kongkret yang menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat
dengan tujuan pengarang agar pembaca dapat merasakan keadaannya.
4)
Rima
Puisi
“Kepada Peminta-minta” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vocal /a/
dan /u/. Sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi /t/, /k/ dan /d/.
Asonansi a terdapat pada baris puisi yaitu baris 1, 2, 5, 6, 7, 8. 17, dan 18
Misalnya, pada baris pertama yaitu: Baik,
baik aku akan menghadap Dia, pada baris ketiga: Menyerahkan diri dan segala dosa. Asonansi u terdapat pada
baris genap yaitu baris 3, 4, 13, 16, 19, dan 20. Misalnya, pada baris ketiga
yaitu: Tapi jangan lagi tentang aku, pada baris keempat: Nanti darahku jadi beku.
Asonansi a pada 2 baris pertama dan asonansi u pada 2 baris
berikutnya mengesankan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tetap dan teratur
yakni irama vokal aauu.
Pada baris
pertama dijumpai aliterasi d (menghadap, dia). Aliterasi d juga terdapat
pada baris 7, 10, 11, 13 dan 15 yakni pada kata: dari, menghadang,
datang, dalam, dan pedas. Pengulangan 4 baris pertama juga dilakukan
untuk menambah bentuk asonansi dan aliterasi dalam puisi ini. Aliterasi k
dapat dilihat banyak sekali digunakan. Beberapa di antaranya juga terdapat pada
baris 1, 2, 4, 5, 6, 7, 14 dan 16 yakni pada kata: baik, aku, akan,
menyerahkan, beku, kau, muka, luka, keras dan ku.
Berikutnya
aliterasi t terdapat pada baris 3, 5, 11, 15, dan 16 yaitu: tentang,
bercerita, datang, terasa, dan ditelingaku. Selain asonansi dan
aliterasi, terdapat pengulangan rima yang teratur yang disusun oleh penyair.
Pada 2 baris pertama berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal a dan
pada baris 3 dan 4 berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal u
sehingga rima puisi tersebut mempunyai rima yang teratur yaitu aabb.
Penggunaan gaya bunyi dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan
sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah.
5)
Bahasa Figuratif
Dalam
puisi “Kepada Peminta-minta” karya Chairil Anwar bahasa figuratif yang muncul
yaitu pada baris ke 4 dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat
berlebih-lebihan. Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain
itu pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18. Terjadi pengulangan pada
kata baik, dalam konteksnya yaitu baik, baik aku akan menghadap Dia.
3. Analisi Struktur Batin
Puisi
1)
Tema (sense),
merupakan hal yang ingin disampaikan oleh pengarang. Puisi Chairil Anwar menceritakan
seseorang yang melarat, miskin yang tidak memiliki apa-apa. Subjet matter
yang ditonjolkan dalam puisi ini yaitu tingkah atau sikap si peminta-minta dan
bagaimana sikap penyair terhadap nya. Penyair menekankan pandangannya kepada
sang peminta-minta. Bagaimana sikapnya terhadap kaum melarat. Pada baris
ketiga Tapi jangan tentang lagi aku menunjukkan sikapnya yang merasa
nyaman dengan kehadirannya. Penyair mengungkapkan semua yang terjadi telah
diketahui. Hal ini tertuang dalam baris 5, 6, 7 yaitu Jangan lagi kau
bercerita sudah tercecer semua dimuka dengan nanah yang meleleh dari muka
semua itu telah terjadi dan diketahui. Penyair juga merasa tertanggu dengan
adanya peminta-peminta, hal ini dinyatakan dalam baris dibibirku terasa
pedas mengaum ditelingaku.
2)
Perasaan (feeling) perasaan yang ditekankan pada puisi
ini adalah rasa benci Chairil Anwar terhadap peminta-minta. Perasaan menyerah
dan merasa bersalah atas dosa yang diperbuat. Hal tersebut dikemukan pada baris
2 yaitu menyerahkan diri dan segala dosa. Tarigan (2011:16) mengemukakan
Chairil Anwar memandang si peminta-minta dengan belakan mata dan rasa benci.
Muncul perasaan terganggu dan kurang simpati terhadap si peminta-minta.Selain
itu, Chairil juga menunjukkan sikap jengkel kepada si peminta-minta. Sikap yang
terlalu menyerah pada keadaan hidup dan begitu menunjukkan kepedihannya dan
kemelaratannya.
3)
Nada (tone),
nada yang ditunjukan dalam puisi adalah sinis. Nada sinis muncul akibat dari
kebencian pengarang kepada peminta-minta. Hal tersebut salah satunya muncul
pada baris puisi berikut jangan lagi kau becerita sudah tercacar semua
dimuka nanah meleleh dari muka sambil di jalan kau usap juga. Muncul nada
sinis akibat dari tekanan yang didasarkan oleh rasa benci dari sikap si
peminta-minta.Selain itu, terlihat terdapat nada menyindir dari makna puisi
Chairil Anwar. Menyindir pada tingkah si peminta-minta yang terlalu
melebih-lebihkan rasa penderitaannya.
4) Amanat
(intention) dalam puisi ini tujuan yang
memiliki peranan penting. Dalam hal ini Chairil Anwar yang memiliki sikap
ekspresionisme memberikan sajian puisi yang ekspresif. Ia mengemukakan sikapnya
terhadap si peminta-minta. Chairil menunjukkan sikap sosial dan kenyataan yang
terjadi pada masyarakat. Sikap Chairil yang kritis menampilkan gambaran yang
sesungguhnya tentang kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat. Dengan demikian
mampu menyampaikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca bagaimana sikap
dan perilaku yang seharusnya dilakukan. Menyampaikan amanat dan pesan moral
kepada masyarakat/pembacanya.
BAB III
KESIMPULAN
Analisis stilistika memperhatikan
pada dua aspek kekhasan karya sastra, yaitu dari segi linguistik dan
pemaknaannya. Keduanya menonjolkan keindahan suatu karya sastra. Hal ini dapat
pula menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra. Menemukan
suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari
keseluruhan unsurnya. Dengan demikian nilai, pemikiran dan prinsip pengarang
dapat dipahami.
Puisi
adalah salah satu objek kajian stilistika yang tepat untuk diteliti. Puisi memiliki
kekhasan bahasa dan kepadatan bahasa yang sesuai untuk dikaji dengan
stilistika. Dalam hal ini sebagai contoh puisi Chairil Anwar yang dapat dikaji
sebagai salah satu objek kajian stilistika. Namun pada dasarnya setiap jenis
karya sastra dapat dikaji dengan stilistika. Jenis-jenis karya sastra tersebut
memiliki bagian-bagian yang penting dalam setiap unsur dan pembahasannya.
Jadi,
kesimpulan dari analisis puisi di atas pertama,
dilihat dari diksinya adalah puisi “Kepada Peminta-minta” menggunakan kata
konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan juga menggunakan efek estetis. Kedua, Citraan puisi ini membantu
pembaca dalam menghayati makna puisi. Puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan
citraan visual (penglihatan), pendengaran, pengecap dan citraan perabaan. Ketiga, Kata-kata kongkret yang
menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat dengan tujuan pengarang agar
pembaca dapat merasakan keadaannya. Keempat,
Penggunaan gaya bunyi dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan
sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah. Kelima, . Sedangkan analisis batin puisi, yaitu 1) tema merupakan hal yang ingin disampaikan
oleh pengarang. Puisi Chairil Anwar menceritakan seseorang yang melarat, miskin
yang tidak memiliki apa-apa, 2) perasaan
perasaan yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa benci Chairil Anwar
terhadap peminta-minta. Perasaan menyerah dan merasa bersalah atas dosa yang
diperbuat, 3) nada yang ditunjukan dalam puisi adalah
sinis. Nada sinis muncul akibat dari kebencian pengarang kepada peminta-minta,
4) Amanat dalam puisi adalah Chairil Anwar yang memiliki sikap ekspresionisme
memberikan sajian puisi yang ekspresif. Ia mengemukakan sikapnya terhadap si
peminta-minta. Chairil menunjukkan sikap sosial dan kenyataan yang terjadi pada
masyarakat. Sikap Chairil yang kritis menampilkan gambaran yang sesungguhnya
tentang kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ma’ruf,
Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori,
Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books.
Aminudin.
1995. Stilistika Pengantar Memahami
Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Chairil
Anwar. 2012. Aku Ini Binatang Jalang.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Negeri Press.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna,
Nyoman Kuta. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman,
Panuti. 1993. Stilistika. Jakarta:
Gramedia
Situmorang.
1980. Puisi dan Metodologi Pengajarannya.
Medan: Nusa Indah.
Semi,
M. Atar. 2008. Stilistika Sastra.
Padang: Unp Press.