Selasa, 15 Desember 2015

Tak Diharapkan
Oleh: Rahmad Satriawan

Sayang,
Cinta bukanlah senjata penakluk hati
para jiwa yang dirundung sepi akan kasih
Meski ia butuh, bukan harus kaulumat sehabis rasa
hingga kau enggan

Ia akan terbuang saat kau jenuh dan bosan
Ia bukan rembulan yang akan menemanimu kala malam tak kau harapkan
Bukan berarti surya lebih baik dikala engkau jauh dari kelam
Biarlah dulu ia ada meski tak kau harapkan
Karena mungkin ia sedang bersiap untuk waktu
saat kau tak dibasuh kesejukan

Hampa itu ada
Lelah itu memang ada
Benci itu juga ada
Bosan itu pasti
Bukan hanya engkau
Ia pun juga merasa

Namun jangan hanya ketika sinar pergi kau undang dia
Karena mungkin sinar lebih baik baginya
Hingga ia pun lupa
Apakah engkau sebaik sinar yang ia rasa  

Kau tentu tak ingin demikian, bukan?
Sabarlah sayang,
Cinta tak semanis madu
bila hanya mencinta sendiri


Padang, 15 Desember 2015 

Read More

Senin, 16 November 2015

Ranah Salayan
       Dahulu, ketika saya masih kecil nenek sering bercerita tentang kisah awal mula terbentuknya desa kami. Nenek selalu menceritakannya setelah kami selesai shalat isya. nenek mengisahkan bahwa desa kami dahulunya adalah hutan belantara yang sangat angker dan tidak satupun manusia berani memasukinya. Hutan tersebut sangat rimbun dan ditumbuhi pohon-pohon besar yang sangat rindang. Bahkan tanah di dalam hutan itu tertutupi oleh rimbunnya semak belukar yang tinnginya sama dengan berdiri orang dewasa. 
        Konon dahulunya hutan tersebut dihuni oleh bangsa bunian yang menunggangi siluman babi. Siapa saja yang mencoba memasuki hutan tersebut alamat badan tidak akan pernah berjumpa dengan keluarganya. Ia tidak akan bisa lagi kembali pulang. Diceritakan juga pernah suatu hari seorang pemburu babi dari desa lain mencoba mengejar seekor babi hutan yang masuk keladangnya. Saat dikejar dengan menggunakan anjing, babi tersebut masuk kedalam hutan itu. Sang pemburu dengan anjing pemburunya ikut masuk kedalam hutan tersebut. Namun mereka kehilangan jejak. Babi yang semula dikejar hilang begitu saja bak ditelan rimbunnya dedaunan dan kelamnya hutan. Ia sempat tersesat beberapa hari di dalam hutan itu. 
          Namun ia berhasil keluar dari hutan tersebut beberapa hari kemudian saat magrib menjelang. Esoknya ia menceritakan kisahnya beberapa hari berada di dalam hutan tersebut kepada warga sekitar. Termasuk nenek saya juga ikut mendengarkannya. Pada waku itu nenek masih gadis. Usianya sekitar 17 tahun. Cerita pemburu tersebut saat ia berada di dalam hutan itu, suasananya begitu dingin dan mencekam, hari serasa senja, padahal waktu itu ia masuk ke dalam hutan hari masih pagi. Di dalam hutan ia juga menjumpai beberapa keanehan di luar nalar manusia. Ia melihat sebuah pohon yang sangat besar yang telah lama tumbang dan batangnya yang melintang diantara dua bukit kecil tempat ia melintas. Pohon tersebut tertancap antara dinding bukit yang satu dengan bukit sebelahnya. Pohon tersebut terasa sangat dingin dan ditumbuhi jamur-jamur kecil serta dibalut oleh semak-semak. Namun yang paling tidak masuk akal, ia melihat pohon tersebut seperti bernafas dengan badan pohon itu kembang kempis. 
          Kemudian ia melihat anak kecil berlari-larian dengan badan telanjang tanpa sehelai benang pun. Di dalam hutan ia juga mendengar suara-suara aneh yang tidak bisa diketahui asal muasal suara tersebut. Suara itu seperti memanggil-manggilnya, untung lah ia tetap tenang dan tidak mengacuhkan suara itu. 
          Saat ia mencari sumber air untuk diminum, ia menemukan sebuah sungai yang sangat besar dan ditepinya terdapat sebuah bangunan yang sangat megah bagaikan istana. Di samping bangunan itu terdapat Surau (mushala) dan orang menyapu-nyapu di halamannya. Ia juga berjumpa dengan seorang gadis yang duduk di atas pohon tumbang di tepi sungai itu. Gadis tersebut sangat kurus dan kecil tubuhnya. Gadis itu mengenakan selendang berwarna emas dan kain putih membalut tubuhnya. Di tangan kanannya ia menggenggam pakis, dan tangan kirinya memegang mangkuk yang terbuat dari tempurung. Saat dijumpainya, gadis itu hanya menatapnya dengan wajah sendu. Dari raut wajahnya ia seperti mengisyaratkan sesuatu kepada pemburu itu yang tidak bisa ia baca. Saat ditanya oleh pemburu tersebut siapa dia, dia menjawab dengan mata berlinang dan menyuruh pemburu itu segera pergi. Ia menyuruh pemburu itu mengikuti aliran sungai. Dengan demikian ia akan segera keluar dari hutan tersebut. Namun dengan syarat ia tidak boleh menoleh ke belakang. Begitulah pesan gadis itu. 
        Tanpa pikir panjang lagi, si pemburu segera berjalan mengikuti alur sungai. Namun ia penasaran, mengapa gadis itu melarangnya menoleh kebelakang. Karena saking penasarannya ia pun melanggar syarat gadis itu. Betapa ia terkejut setelah menoleh kebelakang, karena yang ia temui bukan lagi bangunan megah dan surau seperti sebelumnya. Melainkan rimbunnya pohon bambu yang besar dan menjulang. Sungai yang ia lihat sebelumnya sangat besar, berubah menjadi anak sungai yang kecil. Karena merasa aneh dengan kejadian itu akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti perintah si gadis itu tanpa menoleh kebelakang sekalipun. Benar saja, setelah beberapa jam ia berjalan akhirnya ia sampai di tepi hutan yang aliran sungai itu ternyata menuju ke tepi ladang si pemburu itu. Dengan mengucap syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya ia terbebas dari hutan yang mencekam itu. 
         Semenjak kejadian itu tak ada lagi warga desa yang berani mendekati hutan itu. Namun perasaan was-was selalu muncul kalau-kalau ada lagi warga desa yang jadi korban hutan yang penuh misteri itu. Akhirnya kepala adat mengundang semua unsur-unsur perangkat desa. Mulai dari pemangku adat, niniak mamak, alim ulama, cerdik pandai, dubalang, dan pemuda nagari. Dalam pertemuan itu mereka merapatkan bagaimana caranya agar hutan itu tidak lagi menelan korban dan hutan itu bisa digarap oleh masyarakat tanpa perasaan takut lagi. Maka diputuskanlah bahwa harus ada orang yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib. Kemudian orang itulah yang nantinya akan menangani para penunggu hutan tersebut dan menyuruh penunggu hutan itu agar pergi sejauh mungkin.
            Maka besoknya dikumpulkanlah orang sati (orang yang memiliki ilmu batin) yang bisa berkomunikasi dengan penunggu hutan itu. Maka hari itu juga semua unsur dan perangkat desa yang ikut musyawarah sebelumnya bersama-sama dengan orang sati itu, pergi menuju hutan. Sesampai di pinggir hutan maka dimulailah ritual untuk masuk ke alam gaib. Maka kemenyan pun dibakar. dan beberapa sesajian yang berisikan bermacam-macam rempah-rempah telah diletakkan. Ritual tersebut berlangsung hampir lima jam. Akhirnya para sati selesai melakukan komunikasi dengan penunggu hutan itu. Dari percakapan antara orang sati dengan penunggu hutan, para sati menceritakan bahwa penunggu hutan itu memiliki pimpinan. Dengan dia lah para sati berkomunikasi. Mereka menceritakan Pemimpin bangsa halus di dalam hutan itu adalah sosok makhluk yang bertubuh sangat besar. Besarnya tiga kali orang dewasa. Badannya seperti manusia, berkepala harimau dengan bulu hitam dan lebat memenuhi wajahnya, memiliki ekor panjang seperti ekor harimau, dan ia menunggangi seekor babi hutan yang juga sangat besar. Dari komunikasi itu penunggu hutan mengatakan bahwa warga desa yang pernah hilang di dalam hutan telah menjadi bangsa mereka dan tidak bisa lagi pulang ke alam nyata. Para sati juga menceritakan bahwa penunggu hutan itu tidak mau pergi dari hutan tersebut, karena hutan itu telah menjadi perkampungan mereka. Alhasil, usaha untuk mengusir penunggu hutan hari itu tidak membuahkan apa-apa. 
              Besoknya diulangi kembali ritual seperti sebelumnya. Kali ini perangkat desa mendatangkan seorang dukun besar yang sangat terkenal kesaktiannya. Konon ia bahkan pernah bertarung dengan bangsa jin, dan jin tersebut menjadi anak buahnya dan pengikut setianya. Tidak beberapa lama, sekitar dua jam Dukun tersebut selesai melakukan ritualnya. Kemudian ia berkata, untuk mengusir para penunggu hutan itu ada syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu telur ayam lima butir, jeruk purut lima buah, beras ketan hitam tiga genggam, serai sepuluh batang, kemenyan, dan banyak lagi jenis-jenis benda yang dimintanya, yang kesemuanya ada di desa tersebut. Tidak lama akhirnya apa yang diminta dukun tersebut telah tersedia. Dan ritual pun kembali dilanjutkan.
            Selang beberapa menit saja terdengar rintihan yang pilu dari dukun tersebut. Rintihan yang membuat bulu kuduk berdiri bagi siapa saja yang mendengarkannya. Kemudian kemenyan serta alat-alat dan benda-benda sesajian itu terbakar dan terlempar keudara. Dukun tersebut juga ikut terpental dan saat itu juga ia menyudahi ritualnya.
Dukun itu berkata, “makhluk yang kita hadapi ini bukan lah makhluk sembarangan. Ia sangat ganas, kuat, dan buas. Perlu waktu bagi saya untuk menyelesaikan ini semua.”
Akhirnya proses pengusiran para penunggu hutan itu selesai pada hari itu, dan akan dilanjutkan esor hari.
            Esok paginya warga dihebohkan dengan berita bahwa beberapa ekor sapi milik ketua adat, mati mengenaskan. Bukan milik ketua adat saja, namun ternak beberpa warga lainnya juga mengalami hal yang sama. Kondisi matinya hampir serupa semuanya, dengan leher seperti habis diterkam dan sebagian badannya seperti dimakan oleh binatang buas. Namun belum diketahui penyebabnya. Namun salah satu warga bercerita, ia sempat melihat sosok makhluk buas menyerupai harimau, berkelebat lari melintasi perkampungan menuju hutan tersebut. Besar dugaan sapi-sapi milik ketua adat mati diterkam makhluk tersebut.
            Ritual pengusiran penunggu hutan itu sempat tertunda beberapa saat dan hampir saja batal dilaksanakan karena kejadian itu. Berita kematian sapi milik ketua adat dan ternak beberapa warga sempat meresahkan masyarakat. Maka hari itu juga kembali perangkat-perangkat kampung berkumpul di balai adat dan melakukan musyawarah. Hari itu dibahas lah bagaimana caranya agar hal serupa tidak terulang lagi, karena dianggap sebuah ancaman bagi desa. Dari perbincangan itu ada yang mengusulkan agar hutan itu dibakar, karena berat dugaan kejadian mengenaskan itu adalah ulah penuggu hutan. Ada juga yang mengusulkan agar diberlakukan ronda malam untuk berjaga-jaga. Akhirnya diambillah kesepakatan dan banyak warga yang memilih untuk diberlakukannya ronda malam dengan syarat petugas ronda dibekali dengan senjata tajam dan bedil. Maka hari itu disusunlah jadwal ronda dan malam itu juga mulai berlaku system ronda di kampung itu. Dan akhirnya ritual pengusiran penunggu hutan batal dilaksanakan.
            Beberapa hari ronda terasa aman-aman saja, bahka kasus matinya hewan ternak secara mengenaskan itu tidak lagi terdengar. Namun warga tetap merasa was-was dan tetap waspada. Rencana untuk mengusir penunggu hutan yang sempat tertunda beberapa hari akhirnya direncanakan kembali. Ketua adat bersama perangkat kampung kembali berkumpul membicarakan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Kali ini musyawarah juga melibatkan semua warga. Dan hati itu juga hadir dukun besar yang sebelumnya menangani kasus itu. Ia juga ditemani oleh rekan satu perguruannya. Singkat cerita akhirnya kesepakatan telah bulat, bahwa ritual pengusiran jin-jin penunggu hutan itu dilakukan hari itu juga. Maka segala kebutuhan yang diminta oleh dukun itu telah disediakan, dan ritual pun mulai dilaksanakan. Kali ini ritualnya berlangsung cukup lama. Namu  tidak ada hal-hal aneh yang terjadi seperti sebelumnya.
Setelah selesai melakukan ritual, dukun dengan rekannya itu bangkit dari tempat duduknya semula. Tidak terlihat keganjilan dan hal-hal aneh terjadi pada dukun tersebut. Dukun itu kemudian diam sejenak dan mengajak warga yang ikut menyaksikan ritual itu untuk kembali ke kampung, karena ada hal yang harus dibicarakan. Sesampai di kampung, warga, perangkat kampung, dan dukun itu kembali duduk bersama. Dalam pertemuan itu dukun itu bercerita bahwa tidak ada perkelhian antara ia dengan bangsa jin penunggu hutan tersebut. Mereka hanya berbincang-bincang dan melakukan nogosiasi dengan penunggu hutan. Dalam hal itu sang dukun berkata bahwa tidak akan bisa mereka menghusir jin penunggu hutan itu, karena bangsa jin itu telah lama menempati hutan itu dan sudah memiliki perkampungan juga. Namun warga boleh saja masuk kehutan dan menggarap hutan itu asalkan dengan satu syarat, bahwa warga tidak boleh mengusik dan mengambil bambu yang ada di tengah hutan tersebut. Bambu itu sangat besar rumpunnya dan sangat tinggi batangnya. Karena itu merupakan istana bangsa jin tersebut. Mengenai kasus hilangnya warga kampung di hutan itu memang diakui oleh bangsa jin tersebut, mereka lah yang mengambil dan menjadikannya bangsa mereka, karena warga yang hilang itu dulunya sempat mengambil bambu di hutan itu untuk membuat kandang ternaknya. Hal itulah yang membuat bangsa jin penunggu hutan itu marah karena istana mereka telah diusik oleh manusia. Dukun itu juga berpesan, agar warga yang ingin masuk ke hutan itu terlebih dahulu berdoa kepad Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari gangguan jin. Dan sebelum masuk warga diminta untuk membakar kemenyan dan mengasapi tubuh meeka dengan asar kemenyan tersebut. Maka dengan demikian siapa saja yang masuk ke hutan tersebut akan terjauh dari gangguan jin.
Mendengar penjelasan dukun tersebut barulah warga sadar kalau kasus hilangnya orang di hutan itu karena ulah mereka juga. Maka semenjak saat itu warga desa mulai bersama-sama menggarap hutan itu, mulai dari membersihkan rumput-rumput liar hingga bercocok tanam. Ada juga yang menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan ada juga yang menanam padi. Lama-kelamaan hutan itu akhirnya dipenuhi oleh aktifitas warga desa. Walau demikian tetap warga melestarikan hutan itu dan tidak mengusik bambu besar yang ada di tengah hutan itu. Bahkan warga membuat jalan penhubung antara kampung mereka dan hutan itu yang jalannya diteruskan ke dalam hutan. Tujuannya agar saat membawa hasil cocok tanam lebih mudah.
Pada akhirnya hutan itu tidak hanya sebagai tempat bercocok tanam bagi warga, bahkan ada yang membangun rumah di sana. hal itu diikuti juga oleh warga yang lainnya dan lama-kelamaan hutan itu menjadi kampung baru. Kampung itu dinamakan “ranah salayan”, karena setiap hari warga sebelum melakukan aktifitas akan mengasapi tubuhnya dengan asap kemenyan. Proses itulah yang disebut dengan salayan, yang artinya mengasapi tubuh dengan asap kemenyan.   
             

Padang, 16 November 2015 

Ranah Salayan

Read More

Minggu, 11 Oktober 2015

 Menjadi Mahasiswa Seutuhnya

         Lebih kurang enam bulan sudah berlalu sejak pelaksanaan ujian nasional (UN) SMA/SMK sederajat dilaksanakan dan ditetapkannya kelulusan bagi siswa-siswi SMA/SMK sederajat. Status sebagai pelajar menengah atas atau kejuruan telah dituntaskan bagi mereka para siswa yang telah lulus ujian nasional dari bangku sekolah masing-masing. Status tersebut kemudian berubah menjadi mahasiswa bagi mereka yang telah lulus di perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Ada istilah keren yang melekat bagi mereka yaitu sebutan sebagai mahasiswa baru (MABA). Tentunya sangat lah membanggakan bagi masing-masing mereka menjadi mahasiswa yang stratanya dalam kasta pendidikan paling tinggi. Dan juga suatu kebanggaan bagi orang tua mereka.
           Namun sadarkah mereka akan status yang saat ini mereka sandang? Masihkah hal-hal konyol yang dulu mereka lakukan dan dianggap keren seperti cabut, bolos, ataupun nongkrong tanpa peduli waktu, masih dilakukan? Atau malah sebaliknya hal-hal yang menjadi prioritas utama bagi sebagian besar pelajar sekolah menengah seperti rajin, datang tepat waktu, pulangpun tepat waktu, belajar, mengerjakan tugas, hingga mungkin mereka telah menjadi budak oleh semua hal-hal yang menjadi rutinitas, katakanlah bagi pelajar yang orientasinya adalah bagaimana menjadi paling unggul dalam memperoleh nilai. Hingga pada akhirnya mereka lupa akan bermain, tidak ada waktu untuk berkumpul dengan teman-teman walau hanya sebentar, hingga menghantarkan mereka menjadi sosok yang apatis dan hanya tahu bagaimana baik bagi dirinya sendiri.  Tentu bukan seperti itu lagi saat kita sudah jadi mahasiswa. Walaupun status sebagai mahasiswa baru masih melekat, bukan berarti kata “baru” tersebut menjadi kambing hitam untuk memberikan statement saat ditanya, “kok udah jadi mahasiswa masih gitu juga?” “Kan baru jadi mahasiswa!”
            Siapapun mahasiswa, tentu pernah menjadi yang namanya mahasiswa baru. Sosok yang polos dengan keluguannya atau lugu dengan kepolosannya akan mudah ditebak dari bagaimana tingkah mereka di kampus. Namun pada fase-fase berikutnya tentu akan mulai berubah dari kepolosan dan keluguan tersebut. Mereka sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan baru mereka dan mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Hingga status mahasiswa baru mulai terkikis dan habis yang kemudian berganti menjadi “mahasiswa”. Lalu siapakah sesungguhnya mahasiswa itu?
Jika kita meminjam sebait puisi karya Taufiq Ismail yang katanya seperti ini:
“Mahasiswa takut pada Dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada Rektor
Rektor taku pada Menteri
Menteri takut pada Presiden
Dan Presiden takut pada mahasiswa”
         Jika kita melihat isi dari bait puisi ini agaknya mahasiswa ditempatkan pada lini depan sekaligus belakang dari maju mundurnya suatu Negara. Jika para petinggi negeri katakan lah itu anggota DPR, Gubernur, ataupun Presiden sekalipun, bisa menyerah oleh pergerakan mahasiswa, namun pada saat yang sama banyak juga mahasiswa yang angkat tangan di hadapan dosen. Meski tidak banyak kasus seperti ini, namun dapat disimpulkan bahwa hanya segelintir mahasiswa yang mau melibatkan diri sebagai agen perubahan, apakah itu tergabung dalam gerakan-gerakan mahasiswa, atau setidaknya menjadi bagian dari struktur organisasi kemahasiswaan.
            Mahasiswa adalah aset paling berharga bagi bangsa ini. Sosok mereka sangat dinantikan oleh masyarakat untuk mampu mengubah bangsa ini dari stagnanisasi menuju kedinamisan pemikiran. Sebagai kaum intelektual dan kritis, mahasiswa mesti peka terhadap realita yang terjadi di negeri saat ini dan tidak hanya jadi pengamat. Kekritisannya diharapkan mampu menyumbangkan ide dan gagasan-gagasan yang cemerlang untuk kemajuan bangsa. Keberadaannya menjadi pelita dalam gelapnya sistem birokrasi di negeri ini. Kekritisannya hendaknya mampu memunculkan kepermukaan akan bobroknya sistem birokrasi yang dibangun saat ini oleh pemegagng kekuasaan. Sehingga hal itu mampu mencerdaskan masyarakat tentang realita yang terjadi di negeri ini.
             Kembali pada bait puisi karya Taufiq Ismail di atas, puisi tersebut dibuat pada saat reformasi. Munculnya gerakan reformasi ini karena masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan UUD 1945. Pada peristiwa ini ribuan mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Indonesia melakukan aksi turun ke jalan dan meminta Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya. Hingga akhirnya rezim orde baru ini berhasil digulingkan oleh mahasiswa pada aksi yang paling heroik yang kita kenal dengan Gerakan Mahasiswa 1998 dan digantikan oleh masa reformasi yang sudah hampir 16 tahun berdiri hingga saat ini.
           Dari kisah di atas dapat kita simpulkan betapa mahasiswa telah menjadi pion perubahan dalam menggeser kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang tumbuh subur pada saat itu. Mahasiswa telah berada di lini terdepan sebagai sosok pembawa perubahan untuk negeri ini. Hingga saat ini Gerakan 98 tersebut telah menjadi api untuk membakar semangat mahasiswa dalam melakukan aksi turun ke jalan untuk menyuarakan ketidak adilan pemerintah saat ini. Maka sangat picik sekali rasanya jika ada mahasiswa yang lupa dengan gerakan tersebut. Dan lebih parahnya lagi sikap apatis akan realita yang terjadi saat ini dan keegoisan individual demi menggapai gelar akademis. Oleh karenanya mahasiswa diharapkan mampu menjadi akademisi yang multifunsi, bukan sekedar professional dalam bidangnya, namun harus kritis terhadap wacana-wacana birokrasi dan menstimulus roda pemerintahan yang mengalami kemandekan.
          Sebagai sosok yang sering disebut-sebut sebagai The Graduation Values yang menjadi penjaga nilai-nilai bangsa, mahasiswa harus berani menyuarakan pro dan kontra terhadap  kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta mampu memberikan masukan yang solutif untuk pemerintah saat ini. Jika kita tidak menutup mata, tentu kita akan sadar betapa bangsa saat ini mengalami yang namanya krisis kepemimpinan. Orang-orang yang dipercayai rakyat untuk membangun bangsa ini kearah yang lebih baik, justru sebaliknya. Banyak kebijakan-kebijakan yang justru mencederai hak rakyat. Pemerintah saat ini seperti terlena akan jabatan yang telah diperoleh. Seakan-akan jabatan itu adalah ranah kerja untuk menghidupi keluarga mereka, bukan menjadi amanah yang mesti dituntaskan dengan baik demi kemaslahatan bangsa. Cita-cita luhur yang dirayukan kepada rakyat hanya sebatas alat untuk mengobral diri mereka agar menjadi pilihan rakyat. Namun saat keinginan sudah didapatkan, rakyat kembali terlupakan.
          Sekali lagi, sebagai kaum intelektual mahasiswa harus berani mengingatkan pemerintah akan janji-janji yang telah mereka sampaikan kepada rakyat. Mahasiswa adalah pemegang tonggak utama sebuah bangsa dan Negara. Mahasiswa adalah penyeimbang dan pengontrol laju pemerintahan. Mahasiswa harus mampu bersikap solutif terhadap isu-isu serta masalah yang kian melilit bangsa. Maka dengan demikian barulah mahasiswa dapat dikatakan Agent of Change dan Social Control.
        Oleh karena nya sebagai mahasiswa yang sadar akan perannya di tengah-tengah masyarakat, maka sudah jadi keharusan untuk mengubah pola pikir dari sikap apatis menuju sosialis. Mulai lah melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa, ataupun mengambil peran dalam struktur keorganisasian di dalam maupun di luar kampus. Setidaknya saling bertukar pikiran dengan mereka yang juga memikirkan bangsa ini akan menghantarkan kita menjadi sosok mahasiswa seutuhnya.



Menjadi Mahasiswa Seutuhnya

Read More

Senin, 05 Oktober 2015


PEMANTAPAN PEMAHAMAN TOKOH PEMUDA DAN PEREMPUAN TENTANG PENCEGAHAN RADIKALISME DAN TERORISME DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Read More

Rabu, 30 September 2015

Si Berut

Suatu hari di tepi sungai, seperti biasanya Berut memancing ikan dengan kail pusaka titipan almarhum ayahnya. Berut meyakini kail itu adalah kail sakti mandraguna yang tiada duanya di bumi ini. Sewaktu ayahnya masih hidup kail itu merupakan alat utama menghidupi keluarganya. Semenjak ayahnya meninggal maka Berutlah yang melanjutkan perjuangan ayahnya menghidupi keluargnya, yaitu ibu dan adik perempuannya. Oleh karena itu Berut yakin, dengan kail peninggalan ayahnya ia mampu menafkahi keluarganya. 

Selang beberapa waktu semenjak umpan dilemparkn ke sungai, Berut merasa kailnya telah disambar oleh seekor ikan, dan ia yakin ikan ini sangat besar. Karena begitu keras dan kuat tarikan kailnya. Tanpa berpikir lama lagi segera Berut menarik kailnya kepermukaan untuk melihat hasil tangkapan kail sakti mandragun tersebut. Dan benar saja, seekor ikan mas berukuran besar telah melekat dikail Berut. Begitu bangganya berut hari itu.  Sambil tersenyum, dalam hati ia berkata, "memang kail ini sakti mandaraguna".

Setelah berhasil melepaskan mulut ikan dari mata kailnya segera Berut memasukkan ikan itu kedalam kampia yaitu sejenis tas yang dianyam dari daun pandan. Dalam hati ia bergumam.
"Satu ikan besar ini sepertinya cukup untuk makan dua hari ke depan. Sebaiknya aku pulang saja".
Akhirnya Berut pun pulang dengan membawa hasil tangkapannya berupa seekor ikan mas besar. Ia yakin pastilah ibu dan adiknya sangat senang dengan hasil tangkapannya hari ini. Dalam perjalanan menuju rumah tiba-tiba berut dikagetkan oleh suara orang yang memanggil-manggil. Suara itu semakin jelas terdengar dan semakin keras. Tiba-tiba ikan yang ada dalam tasnya itu menggelepar dan keluar dari tasnya. Ikan itu terus menggelepar hingga ke tanah.

Setelah diamatinya secara cermat ternyata suara yang tadi ia dengar adalah suara ikan hasil tangkapannya itu. Tentu saja hal itu membuat Berut ketakutan. 

Read More

Kamis, 24 September 2015

Qurban Sebagai Bukti Ketaqwaan Kepada Allah dan Kecintaan
Kepada Sesama Muslim

Siapapun hamba Allah di muka bumi ini tentu tahu dengan kisah Nabi Ibrahim AS. Yaitu sebuah kisah pengorbanan yang luar biasa demi ketaqwaannya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim merupakan rasul Allah yang mana beliau dikenal dengan sebutan al-khalil (Kekasih Allah) adalah salah satu rasul ulul azmi. Yaitu Rasul yang mendapatkan keistimewaan berupa mukjizat sebagai bukti akan kerasulannya. Ibrahim adalah sosok yang menjadi ikon utama dalam momentum sejarah umat Islam. Dimulai dari proses pencarian Tuhan yang Maha Esa, penyebaran keyakinan untuk menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan, prosesi pembangunan ka’bah, sampai dengan terciptanya ibadah haji dan hari raya idul adha. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang dermawan yang juga pernah berkurban dengan 1000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Sampai-sampai malaikat pun kagum kepadanya. Pernah ia berkata’ “kurban sebanyak itu belum lah apa-apa, demi Allah bila aku punya anak lelaki, dan Allah menghendakinya untuk dikorbankan, maka akan aku korbankan sebagai bukti ketaatanku kepada Allah”.
            Akhirnya Nabi Ibrahim AS dikaruniai Allah SWT seorang putera melalui rahim istrinya Siti Hajar. Anak tersebut diberi nama Ismail. Hingga Allah memerintahkan untuk menyemblih anaknya tersebut melalui mimpi yang ia terima sebanyak tiga kali berturut-turut. Disinilah keimanan Nabi Ibrahim diuji. Setelah sekian lama menunggu seorang anak, kemudian mendapat perintah untuk menyemblihnya, merupakan ujian yang berat baginya. Namun karena ketaqwaannya kepada Allah melebihi kecintaannya kepada anaknya, maka dilaksanakanlah perintah Allah tersebut. Karena melihat kesungguhannya melaksanakan perintah Allah, maka Allah mengganti Ismail dengan seekor kibas/domba. Maka domba itulah pada akhirnya disemblih oleh Nabi Ibrahim. Maka dari sanalah awal mula ibadah qurban bagi umat muslim di seluruh dunia.
         Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwasanya untuk menjadi seorang yang memiliki predikat taqwa di sisi Allah memang memerlukan pengorbanan yang tinggi. Keikhlasan serta kesabaran adalah dua hal yang menjadi pegangan oleh Nabi Ibrahim dalam melaksanakan perintah Allah. Sebagai hamba Allah yang beriman, maka tentulah kita juga ingin mendapat predikat taqwa di sisi Allah. Anjuran berqurban bagi yang telah mampu melaksanakannya adalah jalan untuk menuju ketaqwaaan kepada Allah. Tentunya dengan niat yang tulus dan hati yang ikhlas lah maka akan diterimanya oleh Allah niat kita dalam berqurban.
           Ibadah qurban yang dilaksanakan sekali dalam setahun merupakan momentum yang sangat tepat dalam merajut kembali ukhuwah islamiyah. Setiap muslim dari segala penjuru dunia berlomba=lomba untuk melaksanakan ibadah yang satu ini. Qurban selain untuk menggapai ridha dan ketaqwaan di sisi Allah, juga sebagai ajang untuk berbagi kepada saudara-saudara kita yang kurang mampu. Bagi mereka yang kurang mampu menerima pembagian daging qurban adalah hal yang sangat luar biasa. Tentunya agar ibadah qurban ini bernilai faedah maka pelaksanaannyapun haruslah tepat sasaran. Dalam hal ini daging qurban lebih utama diberikan kepada mereka yang memang kurang mampu.
           Berbagi kepada sesama muslim terutama kepada mereka yang membutuhkan bukan hanya pada saat Hari Raya qurban saja. Momentum ini harus dimaknai dengan sungguh-sungguh bahwa setiap muslim harus rela berkorban dan berbagi sedikit rezkinya kepada yang membutuhkan di luar Hari Raya Qurban. Setiap muslim harus menyadari bahwa harta yang dititpkan oleh Allah kepadanya sebagiannya adalah hak orang lain. Untuk itu setiap muslim haruslah mau  berinfaq dan shadakah di jalan Allah.
             Kemudian sikap dermawan dan kezuhudan Nabi Ibrahim haruslah menjadi contoh bagi kita selaku umat muslim. Seberapa pun berlimpahnya harta dan kekayaan kita, tetaplah kita tidak terbuai dan tergoda olehnya. Karena harta, pangkat, dan jabatan adalah amanah Allah yang harus kita pertanggungjawabkan nantinya. Maka agar harta yang dititpkan Allah kepada kita menjadi barokah, hendaklah kita mau berbagi kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan.  
            Semoga Idul adha kali ini mengantarkan kita menjadi hamba Allah yang bertaqwa di sisi-Nya. 

Qurban Sebagai Bukti Ketaqwaan Kepada Allah dan Kecintaan Kepada Sesama Muslim

Read More

Rabu, 23 September 2015


Pengurus HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Periode 2013-2014

Read More


Kebun Teh Solok

Read More


Para Pengurus BEM UNP 45

Read More

Add caption

Salam Perjuangan

Read More


Presma dan Wapresma BEM UNP PEriode 2014-2015

Read More

Larangan penggunan ponsel saat berkendara.
Ponsel atau telpon genggam merupakan alat komunikasi yang praktis karena dapat dibawa kemana-mana. Alat ini sangat canggih, selain canggih juga simple cara penggunaannya. Namun karena simpelnya penggunaan ponsel ini sering digunakan pada saat yang tidak semestinya. Misalnya menggunakan ponsel untuk menelepon, sms-an, dan hal-hal lainnya saat berkendara. Hal ini tentunya sangat mebahayakan si pengendara dan orang pengguna jalan lainnya. Hingga akhirnya pemerintah menetapkan UU terkait focus dalam berkendara dan berlalu lintas dan sudah mencakup mengenai larangan menggunakan ponsel saat berkendara.
Larangan penggunaan HP saat mengemudi, secara secara spesifik tidak diatur dalam UU No 22 Tahun 2009. Tapi, pengendara (yang menggunakan ponsel) bisa terkena pasal 106 ayat 1 tentang pengemudi wajib mengendarai kendaraan dengan penuh konsentrasi. Pengertian wajib mengendarai dengan penuh konsenterasi, mencakup melarang kegiatan-kegiatan yang mengganggu konsentrasi berkendara. Misalnya minum-minuman keras saat berkendara, mengkonsumsi obat terlarang dan menggunakan HP. Kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Sanksi terhadap pelanggaran pasal tersebut diatur dalam pasal 283 UU yang sama, yakni denda maksimal Rp 750 ribu dan kurungan 3 bulan.
Dari Beberapa data yang berhasil kami himpun, salah satunya dari Laporan Kasat patwal metro jaya bahwa 30 persen kecelakaan tahun 2010 di ibukota disebabkan penggunaan Ponsel. Setiap harinya 3 orang meninggal dunia dan apabila dihitung setiap tahunnya mencapai 1000 orang yang meninggal akibat kecelakaan yang mayoritas yaitu lebih 90% disebabkan terpecahnya konsentrasi pengemudi kenderaan.
Menurutnya, faktor lain yang menyebabkan kecelakaan juga adalah lelah dan mabuk bahkan menggunakan ponsel ketika mengemudi.
Menurut American Automobill Assosiation yang dikutip dari Antara News.com mengungkapkan bahwa penyebab kecelakaan akibat gangguan penggunaan ponsel, bersolek dan berjoget di dalam mobil, lebih besar. Organisasi ini mengungkapkan bahwa berdasarkan analisa dari video reall time kecelakaan yang menimpa pengemudi remaja, ternyata, 58 persen penyebab kecelakaan disebabkan gangguan seperti menggunakan ponsel, bernyanyi, berjoget atau melihat hal-hal lain selain lalu lintas.
Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya, tercatat sepanjang 2014 ada sekitar 5.887 kecelakaan terjadi akibat pengemudi dan 3.728 diantaranya lengah dalam perjalanan.
Rekomendasi:
1.      Harus adanya Undang-Undang atau pasal yang lebih spesifik mengatur terkait dengan larangan penggunaan ponsel saat berkendara.
2.      Dikarenakan akibatnya sangat fatal maka harus ada sangsi yang lebih berat yang membuat pengendara menjadi jera.
3.      Polantas harus lebih jeli lagi memperhatikan pengguna kendaraan yang menggunakan ponsel saat berkendara.  

Larangan Penggunaan Ponsel saat Berkendara

Read More

BAB 1
PENDAHULUAN

            Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap penulis memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Secara menyeluruh kajian stilistika berperan untuk membantu menganalisis dan memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra.
            Karya sastra sebagai kajian dari stilistika yang menggunakan gaya bahasa sastra sebagai media untuk menemukan nilai estetisnya. Aminuddin (1997—67) mengemukakan terdapat  jenis karya sastra yaitu puisi dan prosa fiksi. Dalam hal ini perbedaan karakteristik karya sastra mengakibatkan perbedaan dalam tahapan pemaknaan dan penafsiran ciri dan penggambarannya. Pengarang memiliki kreativitas masing-masing dan setiap karya yang dihasilkan memperhatikan kebaharuan dan perkembangan sosial budaya. Misalnya puisi sebagai objek kajian yang dianalisis. Setiap orang tentunya memiliki pendapat dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap suatu puisi. Perbedaan itu muncul pula pada pemahaman seseorang. Stilistika akan muncul dengan kekhasan bahasa yang digunakan dan akan sangat berbeda dengan penggunaan bahasa sehari-hari.
            Sastra terbagi atas dua jenis yaitu sastra lama dan modern. Sastra ini menjadi objek yang diamati dalam penelitian sastra, sastra modern dapat meliputi puisi, prosa maupun drama. Berdasarkan hal tersebut menurut Ratna (2009:19) dari ketiga jenis sastra modern dan sastra lama, puisilah yang paling sering digunakan dalam penelitian stilistika. Puisi memiliki ciri khas yaitu kepadatan pemakaian bahasa sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Dibandingkan dengan prosa yang memiliki ciri khas pada cerita (plot) sedangkan ciri khas drama pada dialog.
            Pada lingkupnya  puisi diciptakan oleh seseorang dengan melukiskan dan mengekspresikan watak-watak yang penting si pengarang, bukan hanya menciptakan keindahan. Aminuddin (1997—65) menyatakan dalam puisi misalnya membutuhkan efek-efek emotif yang mempengaruhi karya sastra. Memperoleh efek-efek tersebut dapat melalui kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan tanda baca, cara penulisan dan lain sebagainya.
1.      Pengertian Stilistika
            Berbicara tentang stilistika merupakan sesuatu hal yang tidak mudah karena di dalamnya kata stilistika itu berasal dari kata style yang secara umum diberi makna atau disinonimkan dengan kata “gaya” (Semi, 2008:1)
            Stilistika (stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yaitu gaya. Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Penggunaan gaya  bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011:72—73).
            Selanjutnya Turner (dalam Pradopo, 1993: 264) mengartikan stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa yang merupakan bagian linguistik yang memusatkan pada variasi-vatriasi penggunaan bahasa tetapi tidak secara eksklusif memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang kompleks pada kesusastraan. Menurut Sudjiman (1993:13) pengertian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai saran. Dengan demikian style dapat diterjemahakan sebagai gaya bahasa.
            Ratna (2009:167) secara definisi stilisistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih mengacu pada gaya bahasa. Menurut Teeuw (dalam Fananie, 2000:25) stilistika merupakan sarana yang dipakai pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika merupakan suatu cara untuk mengungkapakan pikiran, jiwa, dan kepribadian pengarang dengan cara khasnya.
            Melalui ide dan pemikirannya pengarang membentuk konsep gagasannya untuk menghasilkan karya sastra. Aminuddin (1997:68) mengemukakan stilistika adalah wujud dari cara pengarang untuk menggunakan sistem tanda yang sejalan dengan gagasan yang akan disampaikan. Namun yang menjadi perhatian adalah kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran kajian adalah wujud penggunaan sistem tandanya.
            Secara sederhana menurut Sudiman dikutip Nurhayati (2008:8) “Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra”. Konsep utamanya adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa. Bagaimana seorang pengarang mengungkapkan karyanya dengan dasar dan pemikirannya sendiri.
            Dalam hal ini untuk memahami konsep stilistik secara seksama Nurhayati (2008:7) mengemukakan pada dasarnya stilistika memiliki dua pemahaman dan jalan pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut menekankan pada aspek gramatikal dengan memberikan contoh-contoh analisis linguistik terhadap karya sastra yang diamati. Selain itu pula stillistika mempunyai pertalian juga dengan aspek-aspek sastra yang menjadi objek penelitiannya adalah wacana sastra.    Stilistika secara definitif adalah ilmu yang berkaiatan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2011:167).
            Berdasarkan pengertian stilistika menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah cabang linguistik yang mempelajari tentang gaya bahasa. Penggunaan gaya bahasa menimbulkan efek tertentu yang berkaitan dengan aspek-aspek keindahan yang merupakan ciri khas pengarang  untuk mencapai suatau tujuan yaitu mengungkapakan pikiran, jiwa, dan kepribadaiannya.

2.       Tujuan Kajian Stilistika
            Stilistika sebagai salah satu kajian untuk menganalisis karya sastra. Endraswara (2011:72) mengemukakan bahasa sastra memiliki tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan suatu sastra dipengaruhi oleh kemampuan penulis mengolah kata. Keindahan karya sastra juga memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu. Selain itu, menurut Sudjiman dikutip Nurhayati (2008:11) mengemukakan titik berat pengkajian stilistik adalah terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu sastra, tetapi tujuan utamanya adalah meneliti efek estetika bahasa. Keindahan juga merupakan bagian pengukur dan penentu dari sebuah sastra yang bernilai.

3.        Sumber Objek Penelitian Stilistika
            Penelitian stilistika menuju kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa yang khas. Menurut Ratna (2009:14) bahasa yang khas bukan pengertian bahwa bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri khasnya yaitu pada proses pemilihan dan penyusunan kembali. Hal tersebut merupakan analog dengan kehidupan sehari-hari dan merupakan proses seleksi, manipulasi dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa yang memiliki unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emonsionalitas.
            Dalam hal ini kekuatan dalam karya seni adalah kekuatan untuk menciptakan kombinasi baru, bukan objek baru. Dengan demikian seperti yang telah dikemukan sebelumnya jenis sastra puisilah yang dianggap sebagai objek utama stilistika. Puisi memiliki medium yang terbatas sehingga keterbatasannya sebagai totalitas puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris harus mampu menyampaikan pesan sama dengan sebuah cerpen, bahkan juga novel yang terdiri atas banyak jumlah halaman.

4.        Pendekatan dalam Stilistika
            Melalui stilistika dapat dijabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Berdasarkan hal itu, Wellek, dan Warren (1993:226) menyatakan ada dua kemungkinan pendekatan analisis stilistika dengan cara semacam itu. Yang pertama di analisis secara sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, kemudian membahas interprestasi tentang ciri-cirinya dilihat berdasarkan makna total atau makna keseluruhan. Melalui hal ini akan muncul sistem linguistik yang khas dari karya atau sekelompok karya. Pendekatan yang kedua yaitu mempelajari sejumlah ciri khas membedakan sistem satu dengan yang lainnya. Analisis stilistika adalah dengan mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inversi susunan kata, susunan hirarki klausa yang semuanya mempunyai fungsi estetis penekanan, atau membuat kejelasan, atau justru kebalikannya yang membuat makna menjadi tidak jelas.
            Sejalan dengan pernyataan di atas dalam kajian stilistik dipengaruhi oleh karya sastra dan bentuk pendekatan yang digunakan. Nurhayati (2008:13—20) mengemukakan lima pendekatan yang dapat digunakan yaitu, sebagai berikut:
1.                  Pendekatan Halliday
            Dalam pendekatan ini Halliday mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori dan metode-metode linguistik deskriptif dapat diaplikasikan ke dalam analisis teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks yang lainnya. Melalui hal ini analisis bukan hanya kepada interprestasi atau evaluasi estetika terhadap pesan-pesan sastra yang dianalisisnya tetapi hanya kepada deskripsi unsur-unsur bahasa. Dalam kajiannya ia tidak mengungkapkan bagaimana bentuk-bentuk verbal tersebut disusun sehingga berhubungan dengan bentuk lainnya pada hubungan intra-tekstual.
2.                  Pendekatan Sinclair
            Pendekatan ini searah dengan teori pendekatan Halliday. Ia menerapkan kategori-kategori deskripsi linguistik Halliday. Sinclair mengemukakan terdapat dua aspek yang berperan penting dalam pengungkapan pola-pola intratekstual karya sastra.
3.                  Pendekatan Goeffrey Leech
            Leech mengemukakn bahwa karya sastra mengandung dimensi-dimensi makna tambahan yang beroperasi pula di dalam wacana lainnya. Leech mengungkapkan tiga gejala ekspresi sastra, yaitu cohesion, foregrounding, dan cohesion of foregrounding. Ketiga gejala ekspresi ini menghadirkan dimensi-dimensi makna yang berbeda yang tidak tercakup oleh deskripsi linguistik dengan kategori-kategori normalnya. Cohesion merupakan hubungan interatekstual antara unsur gramatikal dengan unsur leksikal yang jalin-menjalin dalam sebuah teks sehingga menjadi sebuah unit wacana yang lengkap. Foregrounding merupakan gejala khas yang hanya terdapat dalam karya sastra. Sedangkan cohesion of foregrounding adalah penyimpangan-penyimpangan dalam teks yang dihubungkan dengan bentuk lain untuk membentuk pola-pola intratekstual.
4.                  Pendekatan Roman Jakobson
            Pendekatan ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah penggunaan bahasa yang berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri. Tulisan sastra tidak seperti bentuk-bentuk lainnya. Dalam tulisan sastra ditemukan pesan yang berpusat pada pesan itu sendiri.
5.                  Pendekatan Samuel R. Levin
            Pendekatan Levin dalam analisis stilistika serupa dengan pendekatan Halliday dan Sinclair yang berpusat pada analisis butir-butir linguistik. Levin juga mengembangkan gagasan kesejajaran yang juga dikemukakan oleh Jakobson. Dalam hal ini kesejajaran tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan semantik yang untuk menghasilkan ciri-ciri struktural.
5. Teori yang Berhubungan dengan Kajian Stilistik
           
Pembentuk utama unsur puisi selain bahasa adalah keindahan. Pada  dasarnya kajian stilistika dikemukakan beberapa teori-teori yang berhubungan. Menurut Nurhayati (2008:30—38) teori-teori tersebut digunakan untuk menganalisis bahasa. Teori tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Diksi, pemilihan kata sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh pemadatan. Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata. Penyair harus cermat agar komposisi bunyi rima dan irama memiliki kedudukan yang sesuai dan indah. Selain itu, Tarigan (2011:29) mengemukakan diksi adalah pilihan kata yang digunakan oleh penyair. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam suatu puisi.
2)      Citraan, merupakan penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, pikiran dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera yang istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah citraan yang meliputi gambaran angan-angan dan pengguna bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Secara spesifik Tarigan (2011:31) dalam menciptakan karya penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa dan perasaan tersebut. Penyair berusaha agar penikmat dapat melihat, merasakan mendengar, dan menyentuh apa yang ia alami dan rasakan.
3)      Kata-kata konkret, merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Tarigan (2011:32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya bayang imajianasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat, kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh.
4)      Bahasa figuratif, untuk memperoleh kepuitisan, penyair menggunakan bahasa figuratif, yaitu bahasa kiasan atau majas. Menurut Endraswara (2011:73) terdapat dua macam bahasa kiasan atau stilistik kiasan, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, polisndeton, dan sebagainya. Sedangkan gaya kiasan amat banyak ragamnya antara lain alegori, personifikasi, simile, sarkasme, dan sebagainya. Menurut Ratna (2011:164) majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan.
5)      Rima dan ritma, merupakan pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu bila dibaca. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi, dan rima akhir. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang teratur. Gerak yang teratur tersebut di sebut ritma atau rhythm. Tarigan (2011:35) mengatakan rima dan ritma memiliki pengaruh untuk memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara teratur, sedangkan rima adalah persamaan bunyi.


6.   Struktur Batin Puisi
            Struktur batin puisi pula yang menjadi salah satu unsur pembentuk puisi. Struktur batin berperan untuk menjiwai sebuah puisi. Dalam hal ini menurut Nurhayati (2008:40—43) hakikat puisi terdiri atas beberapa komponen yang membangun sebuah puisi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Tema (sense), merupakan gagasan atau ide pokok dalam suatu kajian puisi. Hal yang menjadi pokok persoalan dalam puisi tersebut. Setiap puisi memiliki pokok persoalan yang hendak di sampaikan kepada pembacanya. Selain itu menurut Tarigan (2011:10—11) dalam puisi memiliki subject matter yang hendak dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman penyair. Makna yang terkandung dalam subject matter adalah sense atau tema dalam puisi tersebut.
2)      Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang terdapat dalam puisinya. Dalam hal ini pada umumnya setiap penyair tentunya akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu karya. Menurut Tarigan (2011:12) rasa/felling yaitu merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada pada puisinya.
3)      Nada (tone), merupakan refleksi sikap penyair terhadap pembacanya, baik suasana hati, dan pandangan moral, dan terkadang muncul pula karakter kepribadian pengarangnya tercemin dalam puisi. Penyair pula menunjukkan sikapnya kepada pembacanya, misalnya dengan sikap menggurui, menyindir atau bersifat lugas.
4)      Amanat (intention) atau tujuan merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan suatu puisinya. Dalam hal ini penyair menciptakan puisinya dan tersirat secara tidak langsung muncul melalui di balik tema yang diungkapkan.




BAB II
PEMBAHASAN



1.      Sajak “Kepada Peminta-minta” karya Chairil Anwar
Kepada Peminta-minta
Oleh: Chairil Anwar

 Baik, baik aku akan menghadap Dia
 Menyerahkan diri dan segala dosa
 Tapi jangan lagi tentang aku
 Nanti darahku jadi beku

 Jangan lagi kau bercerita
 Sudah tercacar semua di muka
 Nanah meleleh dari luka
 Sambil berjalan kau usap juga

 Bersuara tiap kau melangkah
 Mengerang tiap kau menendang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik aku akan menghadap ia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
(Chairil Anwar, 2012:107)

2. Analisis Sajak “Kepada Peminta-minta” karya Chairil Anwar
1)      Diksi
            Diksi dalam puisi “Kepada Peminta-minta” memiliki makna kiasan yang harus dipahami secara seksama. Tokoh aku dan dia memerlukan interprestasi sendiri untuk menentukannya. Hal ini dalam setiap maksudnya memerlukan pemahaman yang menyeluruh. Secara umum puisi ini juga sulit untuk dipahami, terdapat penafsiran tertentu. Dengan demikian penggunaan kata konotatif dalam puisi tersebut cukup menjadi perhatian.
            Penyair menggunakan kata-kata tersebut untuk mengungkapkan sesuatu. Sesuatu itulah yang dinamakan makna konotatif. Jadi, penggunaan kata konotatif dilakukan untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Penggunaan kata konotatif juga untuk menciptakan efek estetis. Sesuai dengan judulnya, puisi tersebut banyak menggunakan kata konotasi. Misalnya pada baris ke empat Nanti darahku jadi beku. Hal ini merupakan makna konotasi yang memerlukan penafsiran. Terdapat pula makna konotasi pada baris ke enam Sudah tercacar semua di muka. Secara keseluruhan puisi ini memiliki makna kiasan yang perlu untuk ditelaah sebelumnya. Bukan jenis citraan yang mengandung makna denotasi yang secara umum mudah untuk langsung dipahami.
            Pemilihan kata pada baris genap tidak terlepas dari kata yang digunakan pada dua baris pertama. Misalnya pada baris pertama penyair mengatakan dia akan menghadap Dia, maka pada baris kedua kata menyerahkan diri dan segala dosa dirasa sangat cocok konteksnya. Pada baris ketiga dan keempat penyair meminta untuk jangan menentang dirinya lagi, maka darahnya akan menjadi beku, hal ini sesuai konteksnya. Pada baris kelima dan keenam penyair meminta untuk jangan bercerita lagi, semua sudah tercacar dimuka. Baris ketujuh dan kedelapan penyair nanah meleleh dari luka sambil berjalan kau usap juga. Dari hal itu terlihat pemilihan kata yang tepat sekali yang digunakan oleh penyair.
            Pilihan kata (diksi) dalam puisi “Kepada Peminta-minta” mempunyai efek kecewa, menyerah, letih,  terluka, sedih, berat, dan risau. Hal itu dapat terlihat dari penggunaan kata: menyerahkan diri, tentang, luka, tercacar, meleleh, menghempas, mengerang, merebah, menetas. Sedangkan adanya risau terlihat dari apa yang di ungkap oleh penyair yaitu: mengganggu, menghempas, merasa pedas dan mengaum di telinga. Selain itu, penyair juga menggunakan pilihan kata yang menciptakan efek letih, menyerah, kecewa, terluka, dan risau. Kesimpulan dari analisis gaya kata adalah puisi “Kepada Peminta-minta” selain menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan juga menggunakan efek estetis.
2)      Citraan
            Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang istimewa. Citraan dibuat dengan pemilihan kata (diksi). Dalam puisi “Kepada Peminta-minta” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imajinasi pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Citraan visual (penglihatan) terlihat pada baris 1, dan 10 yaitu menghadap dan memandang. Citraan perabaan terdapat pada baris 8, yaitu kata usap. Memaknai usap dapat dirasakan dengan indera perabaan. Citraan pendengaraan terlihat pada baris 9 dan 16, yaitu pada kata bersuara dan mengaum. Dalam hal ini kata bersuara dan mengaum dapat dirasakan oleh indera pendengaran. Selain itu pula terdapat citraan pengecap yaitu pada baris  15 pada kata pedas. Rasa pedas dapat dirasakan melalui indera pengecap.  Kesimpulannya adalah puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Citraan membantu pembaca dalam menghayati makna puisi. Puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan citraan visual (penglihatan), pendengaran, pengecap dan citraan perabaan.
3)      Kata-Kata Konkret
            Pada puisi ini ditemukan diksi yang berupa kata-kata konkret yang dapat membangkitkan citraan seperti berjalan, melangkah, mengempas, merebah menunjukkan citraan gerak dan beberapa citraan lainnya. Kata-kata kongkret tersebut jelas menunjukkan sikap tindakan baik dari si peminta-minta maupun pengarang. Kata-kata kongkret yang menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat dengan tujuan pengarang agar pembaca dapat merasakan keadaannya.
4)      Rima
            Puisi “Kepada Peminta-minta” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vocal /a/ dan /u/. Sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi /t/, /k/ dan /d/. Asonansi a terdapat pada baris puisi yaitu baris 1, 2, 5, 6, 7, 8. 17, dan 18 Misalnya, pada baris pertama yaitu: Baik, baik aku akan menghadap Dia, pada baris ketiga: Menyerahkan diri dan segala dosa. Asonansi u terdapat pada baris genap yaitu baris 3, 4, 13, 16, 19, dan 20. Misalnya, pada baris ketiga yaitu: Tapi jangan lagi tentang aku, pada baris keempat: Nanti darahku jadi beku.
Asonansi a pada 2 baris pertama  dan asonansi u pada 2 baris berikutnya mengesankan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tetap dan teratur yakni irama vokal aauu.
            Pada baris pertama dijumpai aliterasi d (menghadap, dia). Aliterasi d juga terdapat pada baris 7, 10, 11, 13 dan 15 yakni pada kata: dari,  menghadang, datang, dalam, dan pedas. Pengulangan 4 baris pertama juga dilakukan untuk menambah bentuk asonansi dan aliterasi dalam puisi ini. Aliterasi k dapat dilihat banyak sekali digunakan. Beberapa di antaranya juga terdapat pada baris 1, 2, 4, 5, 6, 7, 14 dan 16 yakni pada kata: baik, aku, akan, menyerahkan, beku,  kau, muka, luka, keras dan ku.
            Berikutnya aliterasi t terdapat pada baris 3, 5, 11, 15, dan  16 yaitu: tentang, bercerita, datang, terasa, dan ditelingaku. Selain asonansi dan aliterasi, terdapat pengulangan rima yang teratur yang disusun oleh penyair. Pada 2 baris pertama berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal a dan pada baris 3 dan 4 berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal u sehingga rima puisi tersebut mempunyai rima yang teratur yaitu aabb. Penggunaan gaya bunyi dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah.


5)      Bahasa Figuratif
            Dalam puisi “Kepada Peminta-minta” karya Chairil Anwar bahasa figuratif yang muncul yaitu pada baris ke 4 dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat berlebih-lebihan. Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain itu pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18. Terjadi pengulangan pada kata baik, dalam konteksnya yaitu baik, baik aku akan menghadap Dia.
 3. Analisi Struktur Batin Puisi
1)      Tema (sense), merupakan hal yang ingin disampaikan oleh pengarang. Puisi Chairil Anwar menceritakan seseorang yang melarat, miskin yang tidak memiliki apa-apa. Subjet matter yang ditonjolkan dalam puisi ini yaitu tingkah atau sikap si peminta-minta dan bagaimana sikap penyair terhadap nya. Penyair menekankan pandangannya kepada sang peminta-minta.  Bagaimana sikapnya terhadap kaum melarat. Pada baris ketiga Tapi jangan tentang lagi aku menunjukkan sikapnya yang merasa nyaman dengan kehadirannya. Penyair mengungkapkan semua yang terjadi telah diketahui. Hal ini tertuang dalam baris 5, 6, 7 yaitu Jangan lagi kau bercerita sudah tercecer semua dimuka dengan nanah yang meleleh dari muka semua itu telah terjadi dan diketahui. Penyair juga merasa tertanggu dengan adanya peminta-peminta, hal ini dinyatakan dalam baris dibibirku terasa pedas mengaum ditelingaku.
2)      Perasaan (feeling) perasaan yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa benci Chairil Anwar terhadap peminta-minta. Perasaan menyerah dan merasa bersalah atas dosa yang diperbuat. Hal tersebut dikemukan pada baris 2 yaitu menyerahkan diri dan segala dosa. Tarigan (2011:16) mengemukakan Chairil Anwar memandang si peminta-minta dengan belakan mata dan rasa benci. Muncul perasaan terganggu dan kurang simpati terhadap si peminta-minta.Selain itu, Chairil juga menunjukkan sikap jengkel kepada si peminta-minta. Sikap yang terlalu menyerah pada keadaan hidup dan begitu menunjukkan kepedihannya dan kemelaratannya.
3)      Nada  (tone), nada yang ditunjukan dalam puisi adalah sinis. Nada sinis muncul akibat dari kebencian pengarang kepada peminta-minta. Hal tersebut salah satunya muncul pada baris puisi berikut jangan lagi kau becerita sudah tercacar semua dimuka nanah meleleh dari muka sambil di jalan kau usap juga. Muncul nada sinis akibat dari tekanan yang didasarkan oleh rasa benci dari sikap si peminta-minta.Selain itu, terlihat terdapat nada menyindir dari makna puisi Chairil Anwar. Menyindir pada tingkah si peminta-minta yang terlalu melebih-lebihkan rasa penderitaannya.
4)      Amanat (intention) dalam puisi ini tujuan yang memiliki peranan penting. Dalam hal ini Chairil Anwar yang memiliki sikap ekspresionisme memberikan sajian puisi yang ekspresif. Ia mengemukakan sikapnya terhadap si peminta-minta. Chairil menunjukkan sikap sosial dan kenyataan yang terjadi pada masyarakat. Sikap Chairil yang kritis menampilkan gambaran yang sesungguhnya tentang kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat. Dengan demikian mampu menyampaikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca bagaimana sikap dan perilaku yang seharusnya dilakukan. Menyampaikan amanat dan pesan moral kepada masyarakat/pembacanya.







BAB III
KESIMPULAN



            Analisis stilistika memperhatikan pada dua aspek kekhasan karya sastra, yaitu dari segi linguistik dan pemaknaannya. Keduanya menonjolkan keindahan suatu karya sastra. Hal ini dapat pula menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra. Menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya. Dengan demikian nilai, pemikiran dan prinsip pengarang dapat dipahami.
            Puisi adalah salah satu objek kajian stilistika yang tepat untuk diteliti. Puisi memiliki kekhasan bahasa dan kepadatan bahasa yang sesuai untuk dikaji dengan stilistika. Dalam hal ini sebagai contoh puisi Chairil Anwar yang dapat dikaji sebagai salah satu objek kajian stilistika. Namun pada dasarnya setiap jenis karya sastra dapat dikaji dengan stilistika. Jenis-jenis karya sastra tersebut memiliki bagian-bagian yang penting dalam setiap unsur dan pembahasannya.
            Jadi, kesimpulan dari analisis puisi di atas pertama, dilihat dari diksinya adalah puisi “Kepada Peminta-minta” menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan juga menggunakan efek estetis. Kedua, Citraan puisi ini membantu pembaca dalam menghayati makna puisi. Puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan citraan visual (penglihatan), pendengaran, pengecap dan citraan perabaan. Ketiga, Kata-kata kongkret yang menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat dengan tujuan pengarang agar pembaca dapat merasakan keadaannya. Keempat, Penggunaan gaya bunyi dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah. Kelima, . Sedangkan analisis batin puisi, yaitu 1) tema merupakan hal yang ingin disampaikan oleh pengarang. Puisi Chairil Anwar menceritakan seseorang yang melarat, miskin yang tidak memiliki apa-apa, 2) perasaan perasaan yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa benci Chairil Anwar terhadap peminta-minta. Perasaan menyerah dan merasa bersalah atas dosa yang diperbuat, 3) nada yang ditunjukan dalam puisi adalah sinis. Nada sinis muncul akibat dari kebencian pengarang kepada peminta-minta, 4) Amanat dalam puisi adalah Chairil Anwar yang memiliki sikap ekspresionisme memberikan sajian puisi yang ekspresif. Ia mengemukakan sikapnya terhadap si peminta-minta. Chairil menunjukkan sikap sosial dan kenyataan yang terjadi pada masyarakat. Sikap Chairil yang kritis menampilkan gambaran yang sesungguhnya tentang kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat.
























DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books.
Aminudin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Chairil Anwar. 2012. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Negeri Press. 
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kuta. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1993. Stilistika. Jakarta: Gramedia
Situmorang. 1980. Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Medan: Nusa Indah.
Semi, M. Atar. 2008. Stilistika Sastra. Padang: Unp Press.





Analisis Sajak Kepada Peminta-minta

Read More

Copyright © 2015 diaro | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top