Ranah Salayan
Dahulu, ketika saya masih kecil nenek sering bercerita tentang kisah awal
mula terbentuknya desa kami. Nenek selalu menceritakannya setelah kami selesai
shalat isya. nenek mengisahkan bahwa desa kami dahulunya adalah hutan belantara
yang sangat angker dan tidak satupun manusia berani memasukinya. Hutan tersebut
sangat rimbun dan ditumbuhi pohon-pohon besar yang sangat rindang. Bahkan tanah
di dalam hutan itu tertutupi oleh rimbunnya semak belukar yang tinnginya sama
dengan berdiri orang dewasa.
Konon dahulunya hutan tersebut dihuni oleh bangsa bunian yang
menunggangi siluman babi. Siapa saja yang mencoba memasuki hutan tersebut
alamat badan tidak akan pernah berjumpa dengan keluarganya. Ia tidak akan bisa
lagi kembali pulang. Diceritakan juga pernah suatu hari seorang pemburu babi
dari desa lain mencoba mengejar seekor babi hutan yang masuk keladangnya. Saat
dikejar dengan menggunakan anjing, babi tersebut masuk kedalam hutan itu. Sang
pemburu dengan anjing pemburunya ikut masuk kedalam hutan tersebut. Namun
mereka kehilangan jejak. Babi yang semula dikejar hilang begitu saja bak
ditelan rimbunnya dedaunan dan kelamnya hutan. Ia sempat tersesat beberapa hari
di dalam hutan itu.
Namun ia berhasil keluar dari hutan tersebut beberapa hari kemudian
saat magrib menjelang. Esoknya ia menceritakan kisahnya beberapa hari berada di
dalam hutan tersebut kepada warga sekitar. Termasuk nenek saya juga ikut
mendengarkannya. Pada waku itu nenek masih gadis. Usianya sekitar 17 tahun.
Cerita pemburu tersebut saat ia berada di dalam hutan itu, suasananya begitu
dingin dan mencekam, hari serasa senja, padahal waktu itu ia masuk ke dalam
hutan hari masih pagi. Di dalam hutan ia juga menjumpai beberapa keanehan di
luar nalar manusia. Ia melihat sebuah pohon yang sangat besar yang telah lama
tumbang dan batangnya yang melintang diantara dua bukit kecil tempat ia
melintas. Pohon tersebut tertancap antara dinding bukit yang satu dengan bukit
sebelahnya. Pohon tersebut terasa sangat dingin dan ditumbuhi jamur-jamur kecil
serta dibalut oleh semak-semak. Namun yang paling tidak masuk akal, ia melihat
pohon tersebut seperti bernafas dengan badan pohon itu kembang kempis.
Kemudian ia melihat anak kecil berlari-larian dengan badan
telanjang tanpa sehelai benang pun. Di dalam hutan ia juga mendengar
suara-suara aneh yang tidak bisa diketahui asal muasal suara tersebut. Suara
itu seperti memanggil-manggilnya, untung lah ia tetap tenang dan tidak
mengacuhkan suara itu.
Saat ia mencari sumber air untuk diminum, ia menemukan sebuah
sungai yang sangat besar dan ditepinya terdapat sebuah bangunan yang sangat
megah bagaikan istana. Di samping bangunan itu terdapat Surau (mushala) dan
orang menyapu-nyapu di halamannya. Ia juga berjumpa dengan seorang gadis yang
duduk di atas pohon tumbang di tepi sungai itu. Gadis tersebut sangat kurus dan
kecil tubuhnya. Gadis itu mengenakan selendang berwarna emas dan kain putih
membalut tubuhnya. Di tangan kanannya ia menggenggam pakis, dan tangan kirinya
memegang mangkuk yang terbuat dari tempurung. Saat dijumpainya, gadis itu hanya
menatapnya dengan wajah sendu. Dari raut wajahnya ia seperti mengisyaratkan
sesuatu kepada pemburu itu yang tidak bisa ia baca. Saat ditanya oleh pemburu
tersebut siapa dia, dia menjawab dengan mata berlinang dan menyuruh pemburu itu
segera pergi. Ia menyuruh pemburu itu mengikuti aliran sungai. Dengan demikian
ia akan segera keluar dari hutan tersebut. Namun dengan syarat ia tidak boleh
menoleh ke belakang. Begitulah pesan gadis itu.
Tanpa pikir panjang lagi, si pemburu segera berjalan mengikuti alur
sungai. Namun ia penasaran, mengapa gadis itu melarangnya menoleh kebelakang.
Karena saking penasarannya ia pun melanggar syarat gadis itu. Betapa ia
terkejut setelah menoleh kebelakang, karena yang ia temui bukan lagi bangunan
megah dan surau seperti sebelumnya. Melainkan rimbunnya pohon bambu yang besar
dan menjulang. Sungai yang ia lihat sebelumnya sangat besar, berubah menjadi
anak sungai yang kecil. Karena merasa aneh dengan kejadian itu akhirnya ia
memutuskan untuk mengikuti perintah si gadis itu tanpa menoleh kebelakang
sekalipun. Benar saja, setelah beberapa jam ia berjalan akhirnya ia sampai di
tepi hutan yang aliran sungai itu ternyata menuju ke tepi ladang si pemburu itu.
Dengan mengucap syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
akhirnya ia terbebas dari hutan yang mencekam itu.
Semenjak kejadian itu tak ada lagi warga desa yang berani
mendekati hutan itu. Namun perasaan was-was selalu muncul kalau-kalau ada lagi
warga desa yang jadi korban hutan yang penuh misteri itu. Akhirnya kepala adat
mengundang semua unsur-unsur perangkat desa. Mulai dari pemangku adat, niniak
mamak, alim ulama, cerdik pandai, dubalang, dan pemuda nagari. Dalam pertemuan itu
mereka merapatkan bagaimana caranya agar hutan itu tidak lagi menelan korban
dan hutan itu bisa digarap oleh masyarakat tanpa perasaan takut lagi. Maka
diputuskanlah bahwa harus ada orang yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib.
Kemudian orang itulah yang nantinya akan menangani para penunggu hutan tersebut
dan menyuruh penunggu hutan itu agar pergi sejauh mungkin.
Maka besoknya dikumpulkanlah orang sati (orang yang
memiliki ilmu batin) yang bisa berkomunikasi dengan penunggu hutan itu. Maka hari
itu juga semua unsur dan perangkat desa yang ikut musyawarah sebelumnya
bersama-sama dengan orang sati itu, pergi menuju hutan. Sesampai di pinggir
hutan maka dimulailah ritual untuk masuk ke alam gaib. Maka kemenyan pun
dibakar. dan beberapa sesajian yang berisikan bermacam-macam rempah-rempah
telah diletakkan. Ritual tersebut berlangsung hampir lima jam. Akhirnya para
sati selesai melakukan komunikasi dengan penunggu hutan itu. Dari percakapan
antara orang sati dengan penunggu hutan, para sati menceritakan bahwa penunggu
hutan itu memiliki pimpinan. Dengan dia lah para sati berkomunikasi. Mereka
menceritakan Pemimpin bangsa halus di dalam hutan itu adalah sosok makhluk yang
bertubuh sangat besar. Besarnya tiga kali orang dewasa. Badannya seperti manusia,
berkepala harimau dengan bulu hitam dan lebat memenuhi wajahnya, memiliki ekor
panjang seperti ekor harimau, dan ia menunggangi seekor babi hutan yang juga
sangat besar. Dari komunikasi itu penunggu hutan mengatakan bahwa warga desa
yang pernah hilang di dalam hutan telah menjadi bangsa mereka dan tidak bisa
lagi pulang ke alam nyata. Para sati juga menceritakan bahwa penunggu hutan itu
tidak mau pergi dari hutan tersebut, karena hutan itu telah menjadi
perkampungan mereka. Alhasil, usaha untuk mengusir penunggu hutan hari itu tidak
membuahkan apa-apa.
Besoknya diulangi kembali ritual seperti sebelumnya.
Kali ini perangkat desa mendatangkan seorang dukun besar yang sangat terkenal
kesaktiannya. Konon ia bahkan pernah bertarung dengan bangsa jin, dan jin
tersebut menjadi anak buahnya dan pengikut setianya. Tidak beberapa lama,
sekitar dua jam Dukun tersebut selesai melakukan ritualnya. Kemudian ia
berkata, untuk mengusir para penunggu hutan itu ada syarat yang harus dipenuhi,
diantaranya yaitu telur ayam lima butir, jeruk purut lima buah, beras ketan
hitam tiga genggam, serai sepuluh batang, kemenyan, dan banyak lagi jenis-jenis
benda yang dimintanya, yang kesemuanya ada di desa tersebut. Tidak lama
akhirnya apa yang diminta dukun tersebut telah tersedia. Dan ritual pun kembali
dilanjutkan.
Selang beberapa menit saja terdengar rintihan yang pilu
dari dukun tersebut. Rintihan yang membuat bulu kuduk berdiri bagi siapa saja
yang mendengarkannya. Kemudian kemenyan serta alat-alat dan benda-benda
sesajian itu terbakar dan terlempar keudara. Dukun tersebut juga ikut terpental
dan saat itu juga ia menyudahi ritualnya.
Dukun itu berkata, “makhluk
yang kita hadapi ini bukan lah makhluk sembarangan. Ia sangat ganas, kuat, dan
buas. Perlu waktu bagi saya untuk menyelesaikan ini semua.”
Akhirnya proses
pengusiran para penunggu hutan itu selesai pada hari itu, dan akan dilanjutkan
esor hari.
Esok paginya warga dihebohkan dengan berita bahwa beberapa
ekor sapi milik ketua adat, mati mengenaskan. Bukan milik ketua adat saja,
namun ternak beberpa warga lainnya juga mengalami hal yang sama. Kondisi
matinya hampir serupa semuanya, dengan leher seperti habis diterkam dan
sebagian badannya seperti dimakan oleh binatang buas. Namun belum diketahui penyebabnya.
Namun salah satu warga bercerita, ia sempat melihat sosok makhluk buas
menyerupai harimau, berkelebat lari melintasi perkampungan menuju hutan
tersebut. Besar dugaan sapi-sapi milik ketua adat mati diterkam makhluk
tersebut.
Ritual pengusiran penunggu hutan itu sempat tertunda
beberapa saat dan hampir saja batal dilaksanakan karena kejadian itu. Berita kematian
sapi milik ketua adat dan ternak beberapa warga sempat meresahkan masyarakat. Maka
hari itu juga kembali perangkat-perangkat kampung berkumpul di balai adat dan
melakukan musyawarah. Hari itu dibahas lah bagaimana caranya agar hal serupa
tidak terulang lagi, karena dianggap sebuah ancaman bagi desa. Dari perbincangan
itu ada yang mengusulkan agar hutan itu dibakar, karena berat dugaan kejadian
mengenaskan itu adalah ulah penuggu hutan. Ada juga yang mengusulkan agar
diberlakukan ronda malam untuk berjaga-jaga. Akhirnya diambillah kesepakatan
dan banyak warga yang memilih untuk diberlakukannya ronda malam dengan syarat
petugas ronda dibekali dengan senjata tajam dan bedil. Maka hari itu disusunlah
jadwal ronda dan malam itu juga mulai berlaku system ronda di kampung itu. Dan akhirnya
ritual pengusiran penunggu hutan batal dilaksanakan.
Beberapa hari ronda terasa aman-aman saja, bahka kasus
matinya hewan ternak secara mengenaskan itu tidak lagi terdengar. Namun warga
tetap merasa was-was dan tetap waspada. Rencana untuk mengusir penunggu hutan
yang sempat tertunda beberapa hari akhirnya direncanakan kembali. Ketua adat
bersama perangkat kampung kembali berkumpul membicarakan langkah selanjutnya
yang akan dilakukan. Kali ini musyawarah juga melibatkan semua warga. Dan hati
itu juga hadir dukun besar yang sebelumnya menangani kasus itu. Ia juga
ditemani oleh rekan satu perguruannya. Singkat cerita akhirnya kesepakatan
telah bulat, bahwa ritual pengusiran jin-jin penunggu hutan itu dilakukan hari
itu juga. Maka segala kebutuhan yang diminta oleh dukun itu telah disediakan,
dan ritual pun mulai dilaksanakan. Kali ini ritualnya berlangsung cukup lama. Namu
tidak ada hal-hal aneh yang terjadi
seperti sebelumnya.
Setelah selesai melakukan
ritual, dukun dengan rekannya itu bangkit dari tempat duduknya semula. Tidak terlihat
keganjilan dan hal-hal aneh terjadi pada dukun tersebut. Dukun itu kemudian
diam sejenak dan mengajak warga yang ikut menyaksikan ritual itu untuk kembali
ke kampung, karena ada hal yang harus dibicarakan. Sesampai di kampung, warga,
perangkat kampung, dan dukun itu kembali duduk bersama. Dalam pertemuan itu
dukun itu bercerita bahwa tidak ada perkelhian antara ia dengan bangsa jin
penunggu hutan tersebut. Mereka hanya berbincang-bincang dan melakukan
nogosiasi dengan penunggu hutan. Dalam hal itu sang dukun berkata bahwa tidak
akan bisa mereka menghusir jin penunggu hutan itu, karena bangsa jin itu telah
lama menempati hutan itu dan sudah memiliki perkampungan juga. Namun warga
boleh saja masuk kehutan dan menggarap hutan itu asalkan dengan satu syarat,
bahwa warga tidak boleh mengusik dan mengambil bambu yang ada di tengah hutan
tersebut. Bambu itu sangat besar rumpunnya dan sangat tinggi batangnya. Karena itu
merupakan istana bangsa jin tersebut. Mengenai kasus hilangnya warga kampung di
hutan itu memang diakui oleh bangsa jin tersebut, mereka lah yang mengambil dan
menjadikannya bangsa mereka, karena warga yang hilang itu dulunya sempat
mengambil bambu di hutan itu untuk membuat kandang ternaknya. Hal itulah yang
membuat bangsa jin penunggu hutan itu marah karena istana mereka telah diusik
oleh manusia. Dukun itu juga berpesan, agar warga yang ingin masuk ke hutan itu
terlebih dahulu berdoa kepad Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari gangguan jin. Dan
sebelum masuk warga diminta untuk membakar kemenyan dan mengasapi tubuh meeka
dengan asar kemenyan tersebut. Maka dengan demikian siapa saja yang masuk ke
hutan tersebut akan terjauh dari gangguan jin.
Mendengar penjelasan
dukun tersebut barulah warga sadar kalau kasus hilangnya orang di hutan itu
karena ulah mereka juga. Maka semenjak saat itu warga desa mulai bersama-sama
menggarap hutan itu, mulai dari membersihkan rumput-rumput liar hingga bercocok
tanam. Ada juga yang menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan ada juga yang
menanam padi. Lama-kelamaan hutan itu akhirnya dipenuhi oleh aktifitas warga
desa. Walau demikian tetap warga melestarikan hutan itu dan tidak mengusik bambu
besar yang ada di tengah hutan itu. Bahkan warga membuat jalan penhubung antara
kampung mereka dan hutan itu yang jalannya diteruskan ke dalam hutan. Tujuannya
agar saat membawa hasil cocok tanam lebih mudah.
Pada akhirnya hutan itu
tidak hanya sebagai tempat bercocok tanam bagi warga, bahkan ada yang membangun
rumah di sana. hal itu diikuti juga oleh warga yang lainnya dan lama-kelamaan
hutan itu menjadi kampung baru. Kampung itu dinamakan “ranah salayan”, karena setiap
hari warga sebelum melakukan aktifitas akan mengasapi tubuhnya dengan asap
kemenyan. Proses itulah yang disebut dengan salayan, yang artinya mengasapi
tubuh dengan asap kemenyan.
Padang, 16 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar