Rabu, 23 September 2015

Pendekatan Mimesis Sosiologi Sastra








KRITIK SASTRA: PENDEKATAN MIMESIS
(SOSIOLOGI SASTRA)

Pendahuluan
Pendekatan mimesis bertolak dari pemikiran bahwa sastra, sebagaimana hasil seni yang lain, merupakan pencerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang, atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataaan. Menurut Aristoteles, mimesis lebih tinggi dari kenyataan, ia memberi kebenaran yang lebih umum, kebenaran yang universal.
Pendekatan ini lama sekali mempengaruhi kehidupan kritik sastra di Eropa. Bahkan di Rusia, pendekatan ini menjadi ajaran resmi. Mereka hanya dapat mengakui sastra yang mengemukakan realisme sosialis. Pendekatan ini juga diterima di RRC dengan sekedar variasi: mereka menyebutnya secara eksplisit gabungan realisme revolusioner dengan romantik revolusioner. Di Indonesia, pendekatan ini diwakili oleh LEKRA pada permulaan tahun 1950-an sampai tahun 1965.

A.    Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas (Abrams dalam Siswanto, 2008: 188).
Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Ini ada kaitannya dengan pandangan Plato mengenai tataran tentang Ada. Yang nyata secara mutlak hanya yang Baik. Derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni yang baik harus truthful, benar. Seniman harus modest, rendah hati.
Bagi Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dan peristiwa sebagaimana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Dalam Abad Pertengahan, pendapat bawa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada kaitannya degan anggapan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Ciptaan manusia hanya meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak dan indah (Teeuw dalam Siswanto, 2008: 189).
Peneliti dari aliran Marxis dari sosiologi (psikologi) sastra beranggapan bahwa karya seni sebagai dokumen sosial (atau psikologi). Kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelum dan yang dialaminya secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan koheren. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah dan sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh kovensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw dalam Siswanto, 2008: 189).
Menurt Marx dan Engels dalam The German Ideology, bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka. Hubungan sosial antarmanusia diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materialnya. Hubungan antarkelas kapitalis dan kelas proletar membentuk basis ekonomi atau infrastruktur. Dari infrastruktur ini di setiap periode muncul superstruktur, yaitu bentuk-benuk hukum dan politik tertentu, negara tertentu, yang berfungsi untuk melegitimasi kekuatan kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi. Superstruktur juga terdiri atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang riil seperti politik, agama, etika, estetika, dan seni (Eagleton dalam Siswanto, 2008: 189).
Seni bagi Marxisme merupakan bagian dari ideologi masyarakat. Memahami masyarakat berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial tempat sastra merupakan bagiannya. Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia) dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial suatu zaman.
Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tak langsung antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul pada unsur-unsur karya sastra (Eagleton dalam Siswanto, 2008: 189).
Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada pendekatan ini, antara lain kritik yang menyatakan bahwa pendekatan ini terlalu memperhatikan aspek nonfiksi. Jika hal itu terjadi, penelitian yang menggunakan pendekatan ini harus bisa memadukan analisisnya, yaitu analisis terhadap sastra dan analisis di luar sastra.

B.     Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.
Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran yang baik. Sesungguhnya kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda, bahkan bertentangan secara diametral (seperti diameter; terbagi dua [oleh garis pemisah]). Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Di antara definisi-definisi tersebut, definisi berikut dianggap mewakili keseimbangan kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat, dengan memberikan prioritas pada definisi nomor 1. 1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. 2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. 3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya. 4) Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat. 5) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Alasannya, pertama, definisi nomor 1 bersifat luas, fleksibel, dan tentatif. Kedua, secara implisit telah memberikan intensitas terhadap peranan karya sastra. Dengan kalimat lain, definisi nomor 1 berbunyi: analisis terhadap unsur-unsur karya seni sebagai bagian integral unsur-unsur sosiokultural.

C.    Sejarah Sosiologi Sastra
Secara institusional, objek sosiologi dan sastra adalah manusia dan masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Sastra memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut Damono (dalam Ratna, 2011: 4), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis tentang masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah subjektivitas dan kreativitas, sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.
Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 BC), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul Ion dan Republik, dilukiskan mekanisme antara hubungan sastra dengan masyarakatnya. Sastra dalam pembicaraan ini hanya meliputi puisi, sesuai dengan kondisi zamannya, semua bentuk sastra ditulis dalam bentuk genre tersebut. Menurut Plato, karya seni semata-mata merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide. Jadi, karya seni merupakan tiruan dari tiruan, secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Karena itu, kualitasnya lebih rendah dari karya seorang tukang. Filsafat ide Plato yang semata-mata bersifat praktis itu ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (katharsis), sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah.
Dalam kebudayaan Barat, khususnya Abad Pertengahan, pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai dasar estetik dan filsafat seni.
Karya seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The Great Model), karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia sebagai homo artifex. Di Indonesia, tampak dalam puisi-puisi Jawa Kuno, melalui konsep persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai penjelmaan Tuhan (Teeuw dalam Ratna, 2011: 5).
Legitimasi pengarang sebagai pencipta yang sesungguhnya tampak sesudah abad ke-18, dengan anggapan manusia sebagai kreator yang otonom. Puncaknya terjadi abad ke-19, pada Abad Romantik, dengan menonjolkan individualitas penulis, dengan popularitas puisi-puisi lirik. Karya seni dinilai berdasarkan atas kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya yang telah dihasilkan sebelumnya. Lambang aktivitas kreatif bukan lagi cermin, peneladanan, dan peniruan, melainkan pelita yang memancarkan sinar.
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam Ratna, 2011: 6).
Meskipun hubungan sastra dengan masyarakat sudah dibicarakan sejak zaman Plato dan Aristoteles seperti disebutkan di atas, tetapi sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri, menggunakan teori dan metode ilmiah, dianggap baru mulai abad ke-18. Buku teks pertama mengenai sosiologi sastra adalah The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albrecht, James H. Barnett, dan Mason Griff, terbit pertama kali tahun 1970. Karena itulah, dikatakan bahwa kehadiran sosiologi sastra sangat terlambat apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain seperti sosiologi agama, sosiologi pendidikan, sosiologi ideologi, dan sosiologi politik.



D.    Sosiologi Sastra Indonesia
Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia dan gejala-gejala baru yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut. Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali melalui ceramah Hasya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian Sejarah” yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973. Sampai saat ini, penelitian sosiologi sastra lebih banyak memberikan perhatian pada sastra nasional, sastra modern, khususnya mengenai novel.
Jika dikaitkan dengan masyarakat sebagai latar belakang proses kreatif, masalah yang menarik adalah kenyataan bahwa masyarakat berada dalam kondisi berubah yang dinamis, yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan Barat. Sebagai respons interaksi sosial, maka karya-karya yang dihasilkan pun secara terus-menerus baru, sesuai dengan tanggapan pengarang terhadap proses perubahan tersebut. Proses perubahan yang agak jelas dan formal tampak dalam periode seperti Balai Pustaka (masalah tradisi, adat-istiadat, dan orientasi primordial pada umumnya), Pujangga Baru (masalah nasionalisme, emansipasi, dan perjuangan melawan penjajahan), Perode ’45 (masalah kebebasan secara universal), Periode 70-an, dan seterusnya (masalah kebebasan dan usaha-usaha untuk menemukan identitas bangsa).
Masalah pokok sosiologi sastra adalah karya sastra itu sendiri, karya sebagai aktivitas kreatif dengan ciri yang berbeda-beda. Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat. Analisis sosiologis tidak bermaksud untuk mereduksikan hakikat rekaan ke dalam fakta, sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.


Sosiologi sastra yang dikembangkan di Indonesia jelas memberikan perhatian terhadap sastra untuk masyarakat, sastra bertujuan, sastra terlibat, sastra kontekstual, dan berbagai proposisi yang pada dasarnya mencoba mengembalikan karya ke dalam kompetensi struktur sosial. Sastra demi kepentingan itu sendiri membawa manusia pada alienasi (keadaan merasa terasing [terisolasi]), pada mitos subjek individual. Sebagai disiplin yang baru, sosiologi sastra mesti membawa misi subjek dalam kerangka intersubjektif, subjek yang memperjuangkan persamaan cita-cita, khususnya dimensi-dimensi yang berkaitan dengan keindahan.

E.     Kaitan Sosiologi Sastra dengan Psikologi Sastra
Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra karena objeknya sama, yaitu manifestasi manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek sosiologi sastra adalah manusia dalam masyarakat sebagai trans-individual, objek psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi psike (jiwa, sukma, rohani). Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran personal.
Teori-teori psikologi yang bermanfaat dalam memahami karya sastra, teori Freud, misalnya, dikaitkan dengan karya seni sebagai manifestasi introver dan neurosis, sebagai akibat manusia yang tidak bisa menerima kenyataan sehari-hari. Anggapan karya seni sebagai pelarian, tokoh-tokoh sebagai hero, raja, dewa, dan tokoh-tokoh supernatural pada umumnya, dianggap memiliki implikasi yang kuat dengan ketaksadaran psikologis Freudian (Grimsley dalam Ratna, 2011: 13).
Menurut Daiches (dalam Ratna, 2011: 14), prinsip-prinsip psikologi dimanfaatkan dalam analisis karya sastra melalui tiga cara, yaitu: a) melalui pengarang, b) melalui semestaan tokoh-tokoh, dan c) melalui citra arketipe. Cara yang pertama disebut kritik ekspresif, sebab melukiskan eksistensi subjek kreator sebagai subjek individual, khususnya kaitan antara sikap pengarang dengan karya yang dihasilkannya. Cara yang kedua disebut sebagai kritik objektif, dengan memusatkan perhatian pada psikologi tokoh-tokoh, khususnya manifestasi karakterisasi sebagai representasi karakterologi. Cara yang ketiga disebut kritik arketipe, sebab analisis dipusatkan pada genesis psikologis, khususnya mengenai eksistensi ketaksadaran kolektif.
Karya besar dikomposisikan atas dasar pengalaman manusia secara keseluruhan, melalui ketaksadaran kolektif, bukan faktor personal.
Dalam penelitian tradisional, baik sosiologi sastra maupun psikologi sastra termasuk aspek-aspek ekstrinsik (Wellek dan Warren dalam Ratna, 2011: 16). Aspek-aspek ekstrinsik adalah keseluruhan aspek karya yang berada di luar aspek intrinsik, termasuk biografi pengarang. Menurut Wellek dan Warren, baik psikologi sastra maupun sosiologi sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam analisis, yaitu: a) analisis pengarang sebagai pencipta, b) analisis karya sastra itu sendiri, dan c) analisis pembaca. Analisis psikologis cenderung memandang subjek kreator sebagai individu yang berbeda, memiliki keistimewaan, keunikan, dan kejeniusan. Sebaliknya, menurut paradigma sosiologi sastra, pengarang merupakan manusia biasa. Pemahaman terhadap sosiologi dan psikologi sastra, sebagai polarisasi dua disiplin yang berbeda dalam menganalisis objek yang sama, yaitu karya sastra, diharapkan dapat memperjelas paradigma kedua disiplin, khususnya sosiologi sastra.

F.     Teori-teori Sosiologi Sastra
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kontemplasi kosmos atau realitas. Setelah mengalami perluasan makna, secara definitif teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan di satu pihak dan aplikasi dalam penelitian praktis di pihak yang lain. Teori yang valid dapat dioperasikan di balik gejala sehingga penelitian memberikan hasil secara maksimal.
Teori-teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial, dan sebagainya. Beberapa teori yang dianggap relevan, di antaranya sebagai berikut. 1) Teori Auguste Comte dan Pitirim Sorokin dalam membicarakan tingkatan-tingkatan budaya, kebudayaan dominan, misalnya analisis peranan pandangan dunia untuk memahami sistem sosial tertentu.
2) Teori Karl Marx (khususnya paradigma kelompok para-Marxis) dalam membicarakan sistem sosiokultural, misalnya analisis ideologi, polarisasi superstruktur ideologis dan infrasruktur ideologis dan infrastruktur material. 3) Teori Emile Durkheim dalam membicarakan struktur sosial, solidaritas sosial, misalnya analisis tipologi fakta-fakta sosiokultural. 4) Teori Max Weber dalam membicarakan kualitas rasionalitas dan otoritas birokrasi, misalnya analisis ciri-ciri individualitas dalam struktur interaksi, peranan konvensi dan tradisi literer. 5) Teori George Simmel dan Ralf Dahrendorf dalam membicarakan interaksi sosial, konflik sosial, misalnya analisis konflik tokoh-tokoh, konflik kelas.
Sama seperti teori-teori sosiologi, teori-teori sosiologi sastra pada umumnya diadopsi melalui teori-teori Barat yang kemudian disesuaikan dengan kondisi-kondisi sastra Indonesia. Secara kronologis dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: a) teori-teori positivistik (hubungan searah, keberadaan karya sastra ditentukan oleh struktur sosial), b) teori-teori refleksi (hubungan dwiarah, tetapi sastra masih bersifat pasif), c) teori-teori dialektik (hubungan dwiarah, signifikasi kedua gejala hadir secara simultan). Teori-teori yang dimaksudkan, di antaranya sebagai berikut. 1) Teori mimesis (karya seni sebagai tiruan masyarakat) oleh Plato dan Aristoteles. 2) Teori sosiogeografis (pengaruh alam sekitar terhadap karya) oleh Johan Gottfried von Herder dan Madame de Stael. 3) Teori genetis (pengaruh ras, saat, dan lingkungan terhadap asal-usul karya) oleh Hippolyte Taine. 4) Teori struktur kelas (karya seni sebagai cermin kelas sosial tertentu), baik oleh Marxis ortodoks maupun kelompok para-Marxis, sebagai Marxis strukturalis. 5) Teori-teori interdependensi (karya dalam hubungan saling menentukan dengan masyarakat, sebagai mekanisme antarhubungan yang hakiki, dengan intensitas yang berbeda-beda), seperti Louis de Bonald, Alan Swingewood, Alexander Kern, Arnold Hauser, A.P. Foulkes, Hugh Dalziel Duncan, A. Teeuw, dan sebagainya.

G.    Sosiologi Sastra dalam Kerangka Kritik Sastra
1.      Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiolog menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.
Sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra itu memperjuangkan masalah yang sama. Keduanya berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Perbedaan antara keduanya (Sapardi dalam Semi, 1989: 52—53) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan masyarakat, menunjukkan cara-cara manusia dalam masyarakat menghayati perasaannya. Sementara menurut Prof. Awang Salleh (dalam Semi, 1989: 53), sosiologi bersifat kognitif, sedangkan sastra bersifat afektif.
Sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologi terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologi ini mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Warren dalam Semi, 1989: 53), yaitu sebagai berikut. 1) Sosiologi pengarang; yakni yang mempermasalahkan status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. 2) Sosiologi karya sastra; yakni mempermasalahkan suatu karya sastra, yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. 3) Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Dari skema atau klasifikasi tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai skop yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta pembacanya.

2.      Sastra, Masyarakat, dan Kebudayaan
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan, kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah.


Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu amatlah erat, sebab kebudayaan itu sendiri menurut pandangan antropolog adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki dari yang lain.
Kebudayaan memiliki tiga unsur, yaitu sebagai berikut. Pertama, unsur sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, dan sistem undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap sistem ini yang dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat. Kedua, sistem nilai dan ide, yaitu sistem yang memberi makna kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari yang lain. Sementara itu, sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat dalam sebuah masyarakat. Ketiga, peralatan budaya, yaitu penciptaan material berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.
Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan pula ketiga unsur kebudayaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu sebagai berikut. Pertama, kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, dan sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat bersangkutan. Kedua, kesusastraan mencerminkan sistem ide dan sistem nilai, menggambarkan apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak; bahkan karya sastra itu menjadi objek penilaian yang dilakukan anggota masyarakat. Orang dapat mengatakan novel ini lebih baik daripada novel itu, dan seterusnya. Ketiga, bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang digunakan dalam mengembangkan sastra.
Bila ciri kebudayaan itu kita letakkan pada sastra dan kita kaitkan pula dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa nilai suatu sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri.

Kesusastraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagaimana karya seni yang lain, sastra juga mempunyai fungsi sosial dan fungsi estetika. Fugsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, etika, kepercayaan, dan lain-lain. Fungsi estetika sastra adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan rasa keindahan bagi pembacanya.
Masyarakat Indonesia sedang tumbuh dan berkembang, begitu pula kebudayaan, termasuk di dalamnya kesusastraan indonesia. Keseluruhan kesusastraan Indonesia sekarang tidak sama dengan keseluruhan kesusastraan Indonesia pada tahun ’50-an, ’40-an, atau ’30-an. Dengan perkembangan itu, fungsi dan nilai sastra bagi masyarakat pun tumbuh dan berkembang. Tanggung jawab yang dibebankan kepada para sastrawan semakin besar, mereka tidak cukup hanya mengetahui aspek-aspek yang membangun sastra saja bila ingin menghasilkan karya yang bermutu, tetapi harus dibarengi dengan pengetahuan tentang bidang sosiologi, psikologi, falsafah, dan kebudayaan. Pengetahuan sosiologi dan psikologi dapat mempertajam persepsi mereka tentang manusia yang dikisahkan.
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita semakin lama semakin besar dan kompleks, demikian pula halnya dengan sastra. Dalam masyarakat dulu yang amat kecil dan sederhana, setiap individu melakukan kegiatan yang disetujui semua dan untuk kepentingan semua. Malah tindakan spontan seseorang seniman pun harus berlaku dalam pola-pola atau bentuk yang diakui oleh sekalian anggota golongan. Jadi sudah ada semacam persetujuan masyarakat tentang nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur tingkah laku dan bentuk ciptaan senimannya. Namun setelah masyarakat menjadi besar, timbullah banyak perbedaan di antara anggota masyarakat, malah kesenian pun cenderung untuk membentuk suatu otonomi, semacam aktivitas yang terpisah, yang membentuk kelompok sendiri. Dalam kondisi semacam ini, sastra harus dapat tumbuh subur di tengah masyarakat, tentu saja dengan jalan penciptaan sastra yang benar-benar memperlihatkan dan memperhitungkan kondisi sosial-kultural yang ada.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa antara masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat. Antara yang satu dengan yang lainnya saling memberi pengaruh, saling membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

3.      Pemanfaatan Pendekatan Sosiologi
Penggunaan pendekatan sosiologis dalam melakukan kritik sastra tidak jarang mendapat serangan pedas dari kritikus sastra. Salah satu serangan itu dilancarkan oleh Wellek dan Warren (dalam Semi, 1989: 58—59) yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Pendekatan sosiologis semacam itu terutama dianut dan dilakukan oleh kritikus Marxis, yang telah memiliki sikap tertentu terhadap hubungan sastra dan masyarakat, sehingga sering yang mereka lakukan bukanlah kritik sastra, melainkan penghakiman yang didasaran atas kriteria sosial pilitik yang sifatnya nonsastra.
Dengan pendekatan sosiologis, orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra, bahkan mugkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang hakikat karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum penelaahan dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif: dengan deskripsi kemasyarakatan yang melingkupi satu karya sastra, sering memberi bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan.
Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologis adalah walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, ia belum tentu menyuarakan kemauan masyarakatnya, dalam arti ia tidaklah mewakili atau menyuarakan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu. Yang pasti hanyalah ia menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri. Bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergolak dalam masyarakatnya, hal itu merupakan suatu kebetulan belaka atau kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat itu.
Oleh sebab itu, seorang pengkritik yang menggunakan pendekatan sosiologis harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang berhubungan dengan pertautan antara masa lahir suatu karya sastra dengan tata kemasyarakatan yang ada di waktu itu, sebab seperti sudah disinggung di atas, bisa terjadi dengan adanya kreativitas, pengarang justru mengungkapkan suatu masyarakat yang diinginkannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna yang tinggi bila para kritikus sendiri tidak melupakan atau memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.


KEPUSTAKAAN
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 diaro | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top