KRITIK SASTRA: PENDEKATAN MIMESIS
(SOSIOLOGI SASTRA)
Pendahuluan
Pendekatan mimesis bertolak dari
pemikiran bahwa sastra, sebagaimana hasil seni
yang lain, merupakan pencerminan atau
representasi kehidupan nyata. Sastra
merupakan tiruan atau pemaduan
antara kenyataan dengan
imajinasi pengarang, atau hasil
imajinasi pengarang yang bertolak
dari
suatu kenyataaan. Menurut
Aristoteles, mimesis lebih tinggi dari
kenyataan, ia memberi
kebenaran yang lebih umum,
kebenaran yang universal.
Pendekatan ini lama sekali mempengaruhi
kehidupan kritik sastra di Eropa. Bahkan di Rusia, pendekatan ini menjadi ajaran resmi.
Mereka hanya dapat mengakui sastra yang mengemukakan realisme sosialis.
Pendekatan ini juga diterima di RRC dengan sekedar variasi: mereka menyebutnya
secara eksplisit gabungan
realisme revolusioner
dengan romantik
revolusioner. Di Indonesia,
pendekatan ini diwakili oleh LEKRA pada permulaan
tahun 1950-an sampai tahun 1965.
A.
Pendekatan
Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian
sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan
kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
imitasi dari realitas (Abrams dalam
Siswanto, 2008: 188).
Kajian semacam ini
dimulai dari pendapat Plato
tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya meniru dan membayangkan
hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu
sendiri. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Ini
ada kaitannya dengan pandangan Plato mengenai
tataran tentang Ada.
Yang nyata secara mutlak hanya
yang Baik.
Derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada
yang abadi. Dunia
empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya
lewat mimetik, peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi Plato tidak ada
pertentangan
antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni
yang baik harus truthful, benar. Seniman harus modest,
rendah hati.
Bagi Aristoteles,
seniman tidak meniru kenyataan,
manusia,
dan peristiwa sebagaimana
adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaan
seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Dalam Abad Pertengahan,
pendapat bawa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada kaitannya
degan anggapan
tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Ciptaan manusia hanya
meneladani ciptaan Tuhan
yang mutlak dan
indah (Teeuw dalam Siswanto,
2008: 189).
Peneliti dari aliran Marxis dari sosiologi (psikologi)
sastra beranggapan bahwa karya seni
sebagai dokumen sosial (atau psikologi). Kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah
kenyataan yang telah
ditafsirkan sebelum dan yang dialaminya
secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan koheren. Hubungan antara
seni dan kenyataan bukanlah
hubungan searah dan
sederhana. Hubungan itu
merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung:
ditentukan oleh kovensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw dalam Siswanto, 2008: 189).
Menurt Marx dan Engels dalam The German Ideology, bukan kesadaran yang
menentukan kehidupan, melainkan
kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan
keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran
mereka. Hubungan sosial antarmanusia diikat dengan cara mereka memproduksi
kehidupan materialnya. Hubungan
antarkelas kapitalis dan kelas proletar membentuk basis ekonomi atau infrastruktur.
Dari infrastruktur
ini di setiap periode muncul superstruktur,
yaitu bentuk-benuk hukum dan politik tertentu, negara tertentu, yang berfungsi
untuk melegitimasi kekuatan kelas
sosial yang memiliki alat-alat produksi. Superstruktur juga terdiri atas
bentuk-bentuk kesadaran sosial yang riil seperti politik, agama, etika,
estetika, dan seni (Eagleton dalam
Siswanto, 2008: 189).
Seni bagi Marxisme
merupakan bagian dari ideologi masyarakat. Memahami masyarakat berarti
pemahaman terhadap seluruh proses sosial tempat sastra merupakan bagiannya. Karya sastra
merupakan bentuk persepsi
(cara khusus dalam memandang dunia) dan memiliki relasi dengan cara memandang
realitas yang menjadi ideologi sosial suatu zaman.
Memahami karya sastra adalah
memahami hubungan tak
langsung antara karya sastra dengan dunia
ideologis tempat karya itu berada yang muncul pada unsur-unsur karya sastra
(Eagleton dalam Siswanto,
2008: 189).
Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada
pendekatan ini, antara
lain kritik yang
menyatakan bahwa pendekatan ini terlalu
memperhatikan aspek nonfiksi. Jika hal itu terjadi, penelitian yang menggunakan
pendekatan ini harus bisa
memadukan analisisnya,
yaitu analisis terhadap sastra dan analisis di luar sastra.
B. Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi
dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius
berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan
berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius
berarti masyarakat, logi/logos
berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan
(evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan
hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.
Sastra dari akar kata sas
(Sansekerta) berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk
mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran yang baik. Sesungguhnya kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat.
Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda, bahkan bertentangan secara diametral (seperti
diameter; terbagi dua [oleh garis pemisah]). Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris,
membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluatif,
subjektif, dan imajinatif.
Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang
perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya
sastra dengan masyarakat.
Di antara definisi-definisi tersebut, definisi berikut dianggap mewakili keseimbangan
kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat, dengan memberikan prioritas pada definisi nomor 1. 1) Pemahaman terhadap karya sastra
dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. 2) Pemahaman terhadap totalitas karya
yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. 3) Pemahaman terhadap karya sastra
sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya. 4) Sosiologi sastra adalah hubungan
dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat. 5) Sosiologi sastra berusaha menemukan
kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Alasannya, pertama, definisi nomor 1 bersifat luas, fleksibel, dan tentatif. Kedua, secara implisit telah memberikan intensitas terhadap
peranan karya sastra. Dengan kalimat lain, definisi nomor 1 berbunyi: analisis
terhadap unsur-unsur karya seni sebagai bagian integral unsur-unsur
sosiokultural.
C.
Sejarah Sosiologi Sastra
Secara institusional, objek sosiologi dan sastra adalah
manusia dan masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala
alam. Sastra memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi
oleh emosionalitas. Karena itu, menurut Damono (dalam Ratna, 2011: 4), apabila ada dua orang sosiolog
yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat
yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua
orang seniman menulis tentang masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti
berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra
adalah subjektivitas dan kreativitas, sesuai dengan pandangan masing-masing
pengarang. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.
Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman
Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 BC), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul Ion dan Republik, dilukiskan mekanisme antara hubungan sastra dengan
masyarakatnya. Sastra dalam pembicaraan ini hanya meliputi puisi, sesuai dengan
kondisi zamannya, semua bentuk sastra ditulis dalam bentuk genre tersebut. Menurut Plato, karya seni semata-mata merupakan
tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide. Jadi, karya seni merupakan tiruan
dari tiruan, secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Karena itu,
kualitasnya lebih rendah dari karya seorang tukang. Filsafat ide Plato yang semata-mata
bersifat praktis itu ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru
mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (katharsis), sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang
rendah.
Dalam kebudayaan Barat, khususnya Abad Pertengahan,
pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai dasar estetik
dan filsafat seni.
Karya
seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The
Great Model), karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia sebagai homo artifex. Di Indonesia, tampak dalam
puisi-puisi Jawa Kuno, melalui konsep persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai
penjelmaan Tuhan (Teeuw dalam Ratna, 2011: 5).
Legitimasi pengarang sebagai pencipta yang sesungguhnya
tampak sesudah abad ke-18, dengan anggapan manusia sebagai kreator yang otonom. Puncaknya
terjadi abad ke-19, pada Abad Romantik, dengan menonjolkan individualitas
penulis, dengan popularitas puisi-puisi lirik. Karya seni dinilai berdasarkan
atas kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya yang telah dihasilkan
sebelumnya. Lambang aktivitas kreatif bukan lagi cermin, peneladanan, dan
peniruan, melainkan pelita yang memancarkan sinar.
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat
utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya
kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat
pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam
novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang
dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh
novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat
bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam Ratna, 2011: 6).
Meskipun hubungan sastra dengan masyarakat sudah dibicarakan
sejak zaman Plato dan Aristoteles seperti disebutkan di atas, tetapi sosiologi
sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri, menggunakan teori dan metode ilmiah,
dianggap baru mulai abad ke-18. Buku teks pertama mengenai sosiologi sastra
adalah The Sociology of Art and
Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albrecht, James H.
Barnett, dan Mason Griff, terbit pertama kali tahun 1970. Karena itulah,
dikatakan bahwa kehadiran sosiologi sastra sangat terlambat apabila dibandingkan
dengan ilmu-ilmu yang lain seperti sosiologi agama, sosiologi
pendidikan, sosiologi ideologi, dan sosiologi politik.
D.
Sosiologi Sastra Indonesia
Sosiologi sastra Indonesia dengan
sendirinya mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan
sastra (di) Indonesia dan gejala-gejala baru yang timbul sebagai akibat antarhubungan
tersebut. Di Indonesia, sosiologi sastra diperkenalkan pertama kali melalui
ceramah Hasya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi untuk Penelitian Sejarah” yang
diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1973. Sampai saat ini, penelitian sosiologi sastra lebih
banyak memberikan perhatian pada sastra nasional, sastra modern, khususnya
mengenai novel.
Jika dikaitkan dengan masyarakat sebagai latar belakang proses kreatif,
masalah yang menarik adalah kenyataan bahwa masyarakat berada dalam kondisi
berubah yang dinamis, yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan Barat.
Sebagai respons interaksi sosial, maka karya-karya yang dihasilkan pun secara
terus-menerus baru, sesuai dengan tanggapan pengarang terhadap proses perubahan
tersebut. Proses perubahan yang agak jelas dan formal tampak dalam periode seperti
Balai Pustaka (masalah tradisi, adat-istiadat, dan orientasi primordial pada
umumnya), Pujangga Baru (masalah nasionalisme, emansipasi, dan perjuangan
melawan penjajahan), Perode ’45 (masalah kebebasan secara universal), Periode 70-an, dan seterusnya (masalah kebebasan
dan usaha-usaha untuk menemukan identitas bangsa).
Masalah pokok sosiologi sastra
adalah karya sastra itu sendiri, karya sebagai aktivitas kreatif dengan ciri
yang berbeda-beda. Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap
fakta kultural lahir dan berkembang dalam
kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra
khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat. Analisis
sosiologis tidak bermaksud untuk mereduksikan hakikat rekaan ke dalam fakta,
sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat
fakta ke dalam dunia imajinasi. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan
pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa
rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.
Sosiologi sastra yang dikembangkan
di Indonesia jelas memberikan perhatian terhadap sastra untuk masyarakat,
sastra bertujuan, sastra terlibat, sastra kontekstual, dan berbagai proposisi
yang pada dasarnya mencoba mengembalikan karya ke dalam kompetensi struktur
sosial. Sastra demi kepentingan itu sendiri membawa manusia pada alienasi (keadaan
merasa terasing [terisolasi]), pada mitos subjek individual. Sebagai disiplin yang baru,
sosiologi sastra mesti membawa misi subjek dalam kerangka intersubjektif,
subjek yang memperjuangkan persamaan cita-cita, khususnya dimensi-dimensi yang
berkaitan dengan keindahan.
E.
Kaitan Sosiologi Sastra dengan
Psikologi Sastra
Sosiologi sastra berkaitan dengan psikologi sastra karena objeknya sama, yaitu manifestasi
manusia yang teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek sosiologi sastra adalah
manusia dalam masyarakat sebagai trans-individual, objek psikologi sastra
adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai manifestasi psike (jiwa,
sukma, rohani).
Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang
dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif, sedangkan psikologi sastra
memandang sastra sebagai rekaman keistimewaan individu, sebagai kesadaran
personal.
Teori-teori psikologi yang bermanfaat dalam memahami karya
sastra, teori Freud, misalnya, dikaitkan dengan karya seni sebagai manifestasi
introver dan neurosis, sebagai akibat manusia yang tidak bisa menerima
kenyataan sehari-hari. Anggapan karya seni sebagai pelarian, tokoh-tokoh
sebagai hero, raja, dewa, dan tokoh-tokoh supernatural pada umumnya, dianggap
memiliki implikasi yang kuat dengan ketaksadaran psikologis Freudian (Grimsley dalam Ratna, 2011: 13).
Menurut Daiches (dalam Ratna, 2011: 14), prinsip-prinsip psikologi dimanfaatkan dalam analisis karya
sastra melalui tiga cara, yaitu: a) melalui pengarang, b) melalui semestaan
tokoh-tokoh, dan c) melalui citra arketipe. Cara yang pertama disebut kritik ekspresif, sebab melukiskan eksistensi subjek kreator sebagai subjek individual,
khususnya kaitan antara sikap pengarang dengan karya yang dihasilkannya. Cara
yang kedua disebut sebagai kritik objektif, dengan memusatkan perhatian pada
psikologi tokoh-tokoh, khususnya manifestasi karakterisasi sebagai representasi
karakterologi. Cara yang ketiga disebut kritik arketipe, sebab analisis dipusatkan pada
genesis psikologis, khususnya mengenai eksistensi ketaksadaran kolektif.
Karya
besar dikomposisikan atas dasar pengalaman manusia secara keseluruhan, melalui
ketaksadaran kolektif, bukan faktor personal.
Dalam penelitian tradisional, baik sosiologi sastra maupun
psikologi sastra termasuk aspek-aspek ekstrinsik (Wellek dan Warren dalam Ratna, 2011: 16). Aspek-aspek ekstrinsik adalah
keseluruhan aspek karya yang berada di luar aspek intrinsik, termasuk biografi
pengarang. Menurut Wellek dan Warren, baik psikologi sastra maupun sosiologi
sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam analisis, yaitu: a) analisis pengarang
sebagai pencipta, b) analisis karya sastra itu sendiri, dan c) analisis
pembaca. Analisis psikologis cenderung memandang subjek kreator
sebagai individu yang berbeda, memiliki keistimewaan, keunikan, dan kejeniusan.
Sebaliknya, menurut paradigma sosiologi sastra, pengarang merupakan manusia biasa.
Pemahaman terhadap sosiologi dan psikologi sastra, sebagai polarisasi dua
disiplin yang berbeda dalam menganalisis objek yang sama, yaitu karya sastra,
diharapkan dapat memperjelas paradigma kedua disiplin, khususnya sosiologi
sastra.
F.
Teori-teori Sosiologi Sastra
Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kontemplasi
kosmos atau realitas. Setelah mengalami perluasan makna, secara definitif teori diartikan sebagai
kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi
ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan di satu pihak dan aplikasi dalam penelitian praktis
di pihak yang lain. Teori yang valid dapat dioperasikan di balik gejala
sehingga penelitian memberikan hasil secara maksimal.
Teori-teori sosiologi yang dapat menopang analisis
sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta
sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya
dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, kelas sosial,
stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik
sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial, dan sebagainya. Beberapa teori yang
dianggap relevan, di antaranya sebagai berikut. 1) Teori Auguste Comte dan Pitirim
Sorokin dalam membicarakan tingkatan-tingkatan budaya, kebudayaan dominan,
misalnya analisis peranan pandangan dunia untuk memahami sistem sosial
tertentu.
2)
Teori Karl Marx (khususnya paradigma kelompok para-Marxis) dalam membicarakan
sistem sosiokultural, misalnya analisis ideologi, polarisasi superstruktur ideologis
dan infrasruktur ideologis dan infrastruktur material. 3) Teori Emile Durkheim
dalam membicarakan struktur sosial, solidaritas sosial, misalnya analisis
tipologi fakta-fakta sosiokultural. 4) Teori Max Weber dalam membicarakan
kualitas rasionalitas dan otoritas birokrasi, misalnya analisis ciri-ciri
individualitas dalam struktur interaksi, peranan konvensi dan tradisi literer.
5) Teori George Simmel dan Ralf Dahrendorf dalam membicarakan interaksi sosial,
konflik sosial, misalnya analisis konflik tokoh-tokoh, konflik kelas.
Sama seperti teori-teori sosiologi, teori-teori sosiologi
sastra pada umumnya diadopsi melalui teori-teori Barat yang kemudian
disesuaikan dengan kondisi-kondisi sastra Indonesia. Secara kronologis dapat
digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: a) teori-teori positivistik (hubungan searah, keberadaan karya
sastra ditentukan oleh struktur sosial), b) teori-teori refleksi (hubungan
dwiarah, tetapi sastra masih bersifat pasif), c) teori-teori dialektik
(hubungan dwiarah, signifikasi kedua gejala hadir secara simultan). Teori-teori
yang dimaksudkan, di antaranya sebagai berikut. 1) Teori mimesis (karya seni
sebagai tiruan masyarakat) oleh Plato dan Aristoteles. 2) Teori sosiogeografis
(pengaruh alam sekitar terhadap karya) oleh Johan Gottfried von Herder dan
Madame de Stael. 3) Teori genetis (pengaruh ras, saat, dan lingkungan terhadap
asal-usul karya) oleh Hippolyte Taine. 4) Teori struktur kelas (karya seni
sebagai cermin kelas sosial tertentu), baik oleh Marxis ortodoks maupun
kelompok para-Marxis, sebagai Marxis strukturalis. 5) Teori-teori
interdependensi (karya dalam hubungan saling menentukan dengan masyarakat,
sebagai mekanisme antarhubungan yang hakiki, dengan intensitas yang
berbeda-beda), seperti Louis de Bonald, Alan Swingewood, Alexander Kern, Arnold
Hauser, A.P. Foulkes, Hugh Dalziel Duncan, A. Teeuw, dan sebagainya.
G. Sosiologi Sastra dalam Kerangka Kritik
Sastra
1.
Pengertian
Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah
tentang manusia dalam masyarakat
dan
tentang sosial dan
proses sosial. Sosiolog menelaah
tentang bagaimana masyarakat
itu tumbuh dan berkembang.
Sastra, sebagaimana halnya dengan
sosiologi, berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat;
ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang
menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu,
sesungguhnya sosiologi dan
sastra itu memperjuangkan masalah yang sama.
Keduanya berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Perbedaan antara keduanya (Sapardi dalam Semi, 1989: 52—53) adalah bahwa sosiologi
melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus
permukaan kehidupan sosial dan masyarakat,
menunjukkan cara-cara manusia dalam masyarakat
menghayati perasaannya. Sementara
menurut Prof. Awang Salleh (dalam Semi,
1989: 53), sosiologi bersifat
kognitif, sedangkan sastra
bersifat afektif.
Sosiologi sastra adalah
suatu telaah
sosiologi terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologi ini mempunyai tiga
klasifikasi (Wellek dan Warren dalam Semi,
1989: 53), yaitu sebagai
berikut. 1) Sosiologi pengarang; yakni yang mempermasalahkan
status sosial, ideologi
politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. 2) Sosiologi karya sastra; yakni mempermasalahkan suatu karya
sastra, yang menjadi pokok
telaah adalah tentang apa
yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang
hendak disampaikannya. 3) Sosiologi sastra yang
mempermasalahkan pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Dari skema atau klasifikasi tersebut dapat diperoleh gambaran
bahwa sosiologi sastra yang
merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan, mempunyai skop yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut
tentang pengarang,
karyanya, serta pembacanya.
2.
Sastra,
Masyarakat, dan Kebudayaan
Sastra merupakan bagian
dari kebudayaan. Bila kita mengkaji
kebudayaan,
kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi
merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah.
Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu
amatlah erat,
sebab kebudayaan itu sendiri
menurut pandangan antropolog adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem
nilai, yaitu berupa
aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya,
lebih dikehendaki dari yang lain.
Kebudayaan memiliki tiga unsur, yaitu
sebagai berikut. Pertama, unsur sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem
pendidikan, dan sistem undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap
sistem ini yang dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur
hubungan antara satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat. Kedua,
sistem nilai dan ide, yaitu sistem yang memberi makna kepada
kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan juga terhadap falsafah
hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya bagaimana kita
menentukan sesuatu lebih berharga dari yang lain.
Sementara itu, sistem ide merupakan
pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat dalam sebuah masyarakat. Ketiga,
peralatan
budaya, yaitu penciptaan
material berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang
kehidupan.
Kesusastraan sebagai
ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan pula ketiga unsur
kebudayaan seperti yang
dikemukakan di atas, yaitu sebagai berikut. Pertama, kesusastraan
mencerminkan
sistem sosial yang ada dalam masyarakat,
sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, dan sistem kepercayaan yang
terdapat dalam masyarakat bersangkutan. Kedua, kesusastraan
mencerminkan sistem ide dan sistem nilai, menggambarkan apa yang dikehendaki dan apa
yang ditolak; bahkan karya sastra itu menjadi objek penilaian yang dilakukan anggota
masyarakat. Orang dapat mengatakan novel ini lebih baik daripada novel itu, dan
seterusnya. Ketiga, bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang
ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang
digunakan dalam mengembangkan sastra.
Bila ciri kebudayaan
itu kita letakkan pada sastra dan kita kaitkan
pula dengan masyarakat yang
menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa nilai suatu sastra itu
pada umumnya terletak pada masyarakat itu
sendiri.
Kesusastraan itu pada dasarnya
bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan dan menyatakan
segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat.
Sebagaimana karya seni yang lain, sastra juga
mempunyai
fungsi sosial dan fungsi estetika. Fugsi sosial sastra adalah keterlibatan
sastra dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, etika, kepercayaan, dan lain-lain. Fungsi estetika sastra
adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan rasa
keindahan bagi pembacanya.
Masyarakat Indonesia sedang tumbuh
dan berkembang, begitu pula kebudayaan,
termasuk di dalamnya kesusastraan indonesia. Keseluruhan kesusastraan Indonesia sekarang tidak
sama dengan keseluruhan
kesusastraan Indonesia
pada tahun ’50-an, ’40-an, atau ’30-an. Dengan perkembangan
itu, fungsi dan nilai
sastra bagi masyarakat pun tumbuh dan berkembang. Tanggung jawab yang dibebankan
kepada para sastrawan semakin besar, mereka tidak cukup hanya mengetahui
aspek-aspek yang membangun sastra saja bila
ingin menghasilkan karya yang bermutu, tetapi harus dibarengi dengan
pengetahuan tentang bidang sosiologi, psikologi, falsafah, dan kebudayaan. Pengetahuan sosiologi
dan psikologi dapat
mempertajam persepsi mereka
tentang manusia yang dikisahkan.
Perkembangan masyarakat
dan kebudayaan kita semakin
lama semakin besar dan kompleks, demikian pula halnya dengan sastra. Dalam
masyarakat dulu yang amat kecil dan sederhana, setiap individu melakukan
kegiatan yang
disetujui semua dan untuk
kepentingan semua. Malah tindakan spontan seseorang seniman pun harus berlaku
dalam pola-pola atau bentuk yang diakui oleh sekalian anggota golongan. Jadi
sudah ada semacam persetujuan masyarakat tentang
nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur tingkah laku dan bentuk ciptaan senimannya. Namun setelah masyarakat
menjadi besar, timbullah
banyak perbedaan di antara anggota masyarakat, malah kesenian pun cenderung untuk
membentuk suatu otonomi, semacam aktivitas yang terpisah, yang membentuk
kelompok sendiri. Dalam
kondisi semacam ini,
sastra harus dapat tumbuh subur di tengah masyarakat, tentu saja dengan jalan
penciptaan sastra yang benar-benar memperlihatkan dan memperhitungkan kondisi
sosial-kultural yang ada.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa antara
masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat. Antara yang satu dengan yang lainnya saling
memberi pengaruh, saling membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan
dan perkembangannya.
3.
Pemanfaatan
Pendekatan Sosiologi
Penggunaan pendekatan
sosiologis dalam melakukan kritik sastra tidak jarang mendapat serangan pedas dari
kritikus sastra. Salah satu serangan
itu dilancarkan oleh Wellek
dan Warren (dalam Semi, 1989: 58—59) yang mengatakan bahwa
pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya
mempermasalahkan sesuatu seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan
eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi
sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Pendekatan
sosiologis semacam itu terutama dianut dan
dilakukan oleh kritikus Marxis, yang telah memiliki sikap tertentu terhadap
hubungan sastra dan masyarakat, sehingga sering yang mereka lakukan bukanlah
kritik sastra, melainkan penghakiman
yang didasaran atas kriteria sosial pilitik yang sifatnya nonsastra.
Dengan pendekatan
sosiologis,
orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah karya
sastra, bahkan mugkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari kekeliruan
tentang hakikat
karya sastra yang ditelaah, terutama dalam menentukan fungsi suatu karya sastra
dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum
penelaahan dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif: dengan deskripsi kemasyarakatan
yang melingkupi satu karya sastra, sering memberi bantuan yang besar terhadap
keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan.
Suatu hal yang perlu dipahami
dalam melakukan pendekatan sosiologis adalah walaupun seorang
pengarang melukiskan kondisi sosial yang
berada di lingkungannya, ia belum tentu menyuarakan kemauan
masyarakatnya, dalam arti ia tidaklah
mewakili atau menyuarakan keinginan-keinginan
kelompok masyarakat tertentu.
Yang pasti hanyalah ia
menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri. Bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang
bergolak dalam masyarakatnya, hal itu merupakan suatu kebetulan belaka atau kebetulan
ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat itu.
Oleh sebab itu, seorang pengkritik yang menggunakan
pendekatan sosiologis harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang berhubungan
dengan pertautan antara
masa lahir suatu karya
sastra dengan
tata kemasyarakatan yang ada di waktu itu, sebab seperti sudah
disinggung di atas, bisa terjadi dengan adanya kreativitas, pengarang justru
mengungkapkan suatu
masyarakat yang diinginkannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya
guna yang tinggi bila para kritikus sendiri tidak melupakan atau memperhatikan
segi-segi intrinsik yang membangun
karya sastra, di samping memperhatikan
faktor-faktor sosiologis serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh
suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.
KEPUSTAKAAN
Ratna, Nyoman
Kutha. 2011. Paradigma Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
0 komentar:
Posting Komentar