Senin, 16 November 2015

Ranah Salayan
       Dahulu, ketika saya masih kecil nenek sering bercerita tentang kisah awal mula terbentuknya desa kami. Nenek selalu menceritakannya setelah kami selesai shalat isya. nenek mengisahkan bahwa desa kami dahulunya adalah hutan belantara yang sangat angker dan tidak satupun manusia berani memasukinya. Hutan tersebut sangat rimbun dan ditumbuhi pohon-pohon besar yang sangat rindang. Bahkan tanah di dalam hutan itu tertutupi oleh rimbunnya semak belukar yang tinnginya sama dengan berdiri orang dewasa. 
        Konon dahulunya hutan tersebut dihuni oleh bangsa bunian yang menunggangi siluman babi. Siapa saja yang mencoba memasuki hutan tersebut alamat badan tidak akan pernah berjumpa dengan keluarganya. Ia tidak akan bisa lagi kembali pulang. Diceritakan juga pernah suatu hari seorang pemburu babi dari desa lain mencoba mengejar seekor babi hutan yang masuk keladangnya. Saat dikejar dengan menggunakan anjing, babi tersebut masuk kedalam hutan itu. Sang pemburu dengan anjing pemburunya ikut masuk kedalam hutan tersebut. Namun mereka kehilangan jejak. Babi yang semula dikejar hilang begitu saja bak ditelan rimbunnya dedaunan dan kelamnya hutan. Ia sempat tersesat beberapa hari di dalam hutan itu. 
          Namun ia berhasil keluar dari hutan tersebut beberapa hari kemudian saat magrib menjelang. Esoknya ia menceritakan kisahnya beberapa hari berada di dalam hutan tersebut kepada warga sekitar. Termasuk nenek saya juga ikut mendengarkannya. Pada waku itu nenek masih gadis. Usianya sekitar 17 tahun. Cerita pemburu tersebut saat ia berada di dalam hutan itu, suasananya begitu dingin dan mencekam, hari serasa senja, padahal waktu itu ia masuk ke dalam hutan hari masih pagi. Di dalam hutan ia juga menjumpai beberapa keanehan di luar nalar manusia. Ia melihat sebuah pohon yang sangat besar yang telah lama tumbang dan batangnya yang melintang diantara dua bukit kecil tempat ia melintas. Pohon tersebut tertancap antara dinding bukit yang satu dengan bukit sebelahnya. Pohon tersebut terasa sangat dingin dan ditumbuhi jamur-jamur kecil serta dibalut oleh semak-semak. Namun yang paling tidak masuk akal, ia melihat pohon tersebut seperti bernafas dengan badan pohon itu kembang kempis. 
          Kemudian ia melihat anak kecil berlari-larian dengan badan telanjang tanpa sehelai benang pun. Di dalam hutan ia juga mendengar suara-suara aneh yang tidak bisa diketahui asal muasal suara tersebut. Suara itu seperti memanggil-manggilnya, untung lah ia tetap tenang dan tidak mengacuhkan suara itu. 
          Saat ia mencari sumber air untuk diminum, ia menemukan sebuah sungai yang sangat besar dan ditepinya terdapat sebuah bangunan yang sangat megah bagaikan istana. Di samping bangunan itu terdapat Surau (mushala) dan orang menyapu-nyapu di halamannya. Ia juga berjumpa dengan seorang gadis yang duduk di atas pohon tumbang di tepi sungai itu. Gadis tersebut sangat kurus dan kecil tubuhnya. Gadis itu mengenakan selendang berwarna emas dan kain putih membalut tubuhnya. Di tangan kanannya ia menggenggam pakis, dan tangan kirinya memegang mangkuk yang terbuat dari tempurung. Saat dijumpainya, gadis itu hanya menatapnya dengan wajah sendu. Dari raut wajahnya ia seperti mengisyaratkan sesuatu kepada pemburu itu yang tidak bisa ia baca. Saat ditanya oleh pemburu tersebut siapa dia, dia menjawab dengan mata berlinang dan menyuruh pemburu itu segera pergi. Ia menyuruh pemburu itu mengikuti aliran sungai. Dengan demikian ia akan segera keluar dari hutan tersebut. Namun dengan syarat ia tidak boleh menoleh ke belakang. Begitulah pesan gadis itu. 
        Tanpa pikir panjang lagi, si pemburu segera berjalan mengikuti alur sungai. Namun ia penasaran, mengapa gadis itu melarangnya menoleh kebelakang. Karena saking penasarannya ia pun melanggar syarat gadis itu. Betapa ia terkejut setelah menoleh kebelakang, karena yang ia temui bukan lagi bangunan megah dan surau seperti sebelumnya. Melainkan rimbunnya pohon bambu yang besar dan menjulang. Sungai yang ia lihat sebelumnya sangat besar, berubah menjadi anak sungai yang kecil. Karena merasa aneh dengan kejadian itu akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti perintah si gadis itu tanpa menoleh kebelakang sekalipun. Benar saja, setelah beberapa jam ia berjalan akhirnya ia sampai di tepi hutan yang aliran sungai itu ternyata menuju ke tepi ladang si pemburu itu. Dengan mengucap syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya ia terbebas dari hutan yang mencekam itu. 
         Semenjak kejadian itu tak ada lagi warga desa yang berani mendekati hutan itu. Namun perasaan was-was selalu muncul kalau-kalau ada lagi warga desa yang jadi korban hutan yang penuh misteri itu. Akhirnya kepala adat mengundang semua unsur-unsur perangkat desa. Mulai dari pemangku adat, niniak mamak, alim ulama, cerdik pandai, dubalang, dan pemuda nagari. Dalam pertemuan itu mereka merapatkan bagaimana caranya agar hutan itu tidak lagi menelan korban dan hutan itu bisa digarap oleh masyarakat tanpa perasaan takut lagi. Maka diputuskanlah bahwa harus ada orang yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib. Kemudian orang itulah yang nantinya akan menangani para penunggu hutan tersebut dan menyuruh penunggu hutan itu agar pergi sejauh mungkin.
            Maka besoknya dikumpulkanlah orang sati (orang yang memiliki ilmu batin) yang bisa berkomunikasi dengan penunggu hutan itu. Maka hari itu juga semua unsur dan perangkat desa yang ikut musyawarah sebelumnya bersama-sama dengan orang sati itu, pergi menuju hutan. Sesampai di pinggir hutan maka dimulailah ritual untuk masuk ke alam gaib. Maka kemenyan pun dibakar. dan beberapa sesajian yang berisikan bermacam-macam rempah-rempah telah diletakkan. Ritual tersebut berlangsung hampir lima jam. Akhirnya para sati selesai melakukan komunikasi dengan penunggu hutan itu. Dari percakapan antara orang sati dengan penunggu hutan, para sati menceritakan bahwa penunggu hutan itu memiliki pimpinan. Dengan dia lah para sati berkomunikasi. Mereka menceritakan Pemimpin bangsa halus di dalam hutan itu adalah sosok makhluk yang bertubuh sangat besar. Besarnya tiga kali orang dewasa. Badannya seperti manusia, berkepala harimau dengan bulu hitam dan lebat memenuhi wajahnya, memiliki ekor panjang seperti ekor harimau, dan ia menunggangi seekor babi hutan yang juga sangat besar. Dari komunikasi itu penunggu hutan mengatakan bahwa warga desa yang pernah hilang di dalam hutan telah menjadi bangsa mereka dan tidak bisa lagi pulang ke alam nyata. Para sati juga menceritakan bahwa penunggu hutan itu tidak mau pergi dari hutan tersebut, karena hutan itu telah menjadi perkampungan mereka. Alhasil, usaha untuk mengusir penunggu hutan hari itu tidak membuahkan apa-apa. 
              Besoknya diulangi kembali ritual seperti sebelumnya. Kali ini perangkat desa mendatangkan seorang dukun besar yang sangat terkenal kesaktiannya. Konon ia bahkan pernah bertarung dengan bangsa jin, dan jin tersebut menjadi anak buahnya dan pengikut setianya. Tidak beberapa lama, sekitar dua jam Dukun tersebut selesai melakukan ritualnya. Kemudian ia berkata, untuk mengusir para penunggu hutan itu ada syarat yang harus dipenuhi, diantaranya yaitu telur ayam lima butir, jeruk purut lima buah, beras ketan hitam tiga genggam, serai sepuluh batang, kemenyan, dan banyak lagi jenis-jenis benda yang dimintanya, yang kesemuanya ada di desa tersebut. Tidak lama akhirnya apa yang diminta dukun tersebut telah tersedia. Dan ritual pun kembali dilanjutkan.
            Selang beberapa menit saja terdengar rintihan yang pilu dari dukun tersebut. Rintihan yang membuat bulu kuduk berdiri bagi siapa saja yang mendengarkannya. Kemudian kemenyan serta alat-alat dan benda-benda sesajian itu terbakar dan terlempar keudara. Dukun tersebut juga ikut terpental dan saat itu juga ia menyudahi ritualnya.
Dukun itu berkata, “makhluk yang kita hadapi ini bukan lah makhluk sembarangan. Ia sangat ganas, kuat, dan buas. Perlu waktu bagi saya untuk menyelesaikan ini semua.”
Akhirnya proses pengusiran para penunggu hutan itu selesai pada hari itu, dan akan dilanjutkan esor hari.
            Esok paginya warga dihebohkan dengan berita bahwa beberapa ekor sapi milik ketua adat, mati mengenaskan. Bukan milik ketua adat saja, namun ternak beberpa warga lainnya juga mengalami hal yang sama. Kondisi matinya hampir serupa semuanya, dengan leher seperti habis diterkam dan sebagian badannya seperti dimakan oleh binatang buas. Namun belum diketahui penyebabnya. Namun salah satu warga bercerita, ia sempat melihat sosok makhluk buas menyerupai harimau, berkelebat lari melintasi perkampungan menuju hutan tersebut. Besar dugaan sapi-sapi milik ketua adat mati diterkam makhluk tersebut.
            Ritual pengusiran penunggu hutan itu sempat tertunda beberapa saat dan hampir saja batal dilaksanakan karena kejadian itu. Berita kematian sapi milik ketua adat dan ternak beberapa warga sempat meresahkan masyarakat. Maka hari itu juga kembali perangkat-perangkat kampung berkumpul di balai adat dan melakukan musyawarah. Hari itu dibahas lah bagaimana caranya agar hal serupa tidak terulang lagi, karena dianggap sebuah ancaman bagi desa. Dari perbincangan itu ada yang mengusulkan agar hutan itu dibakar, karena berat dugaan kejadian mengenaskan itu adalah ulah penuggu hutan. Ada juga yang mengusulkan agar diberlakukan ronda malam untuk berjaga-jaga. Akhirnya diambillah kesepakatan dan banyak warga yang memilih untuk diberlakukannya ronda malam dengan syarat petugas ronda dibekali dengan senjata tajam dan bedil. Maka hari itu disusunlah jadwal ronda dan malam itu juga mulai berlaku system ronda di kampung itu. Dan akhirnya ritual pengusiran penunggu hutan batal dilaksanakan.
            Beberapa hari ronda terasa aman-aman saja, bahka kasus matinya hewan ternak secara mengenaskan itu tidak lagi terdengar. Namun warga tetap merasa was-was dan tetap waspada. Rencana untuk mengusir penunggu hutan yang sempat tertunda beberapa hari akhirnya direncanakan kembali. Ketua adat bersama perangkat kampung kembali berkumpul membicarakan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Kali ini musyawarah juga melibatkan semua warga. Dan hati itu juga hadir dukun besar yang sebelumnya menangani kasus itu. Ia juga ditemani oleh rekan satu perguruannya. Singkat cerita akhirnya kesepakatan telah bulat, bahwa ritual pengusiran jin-jin penunggu hutan itu dilakukan hari itu juga. Maka segala kebutuhan yang diminta oleh dukun itu telah disediakan, dan ritual pun mulai dilaksanakan. Kali ini ritualnya berlangsung cukup lama. Namu  tidak ada hal-hal aneh yang terjadi seperti sebelumnya.
Setelah selesai melakukan ritual, dukun dengan rekannya itu bangkit dari tempat duduknya semula. Tidak terlihat keganjilan dan hal-hal aneh terjadi pada dukun tersebut. Dukun itu kemudian diam sejenak dan mengajak warga yang ikut menyaksikan ritual itu untuk kembali ke kampung, karena ada hal yang harus dibicarakan. Sesampai di kampung, warga, perangkat kampung, dan dukun itu kembali duduk bersama. Dalam pertemuan itu dukun itu bercerita bahwa tidak ada perkelhian antara ia dengan bangsa jin penunggu hutan tersebut. Mereka hanya berbincang-bincang dan melakukan nogosiasi dengan penunggu hutan. Dalam hal itu sang dukun berkata bahwa tidak akan bisa mereka menghusir jin penunggu hutan itu, karena bangsa jin itu telah lama menempati hutan itu dan sudah memiliki perkampungan juga. Namun warga boleh saja masuk kehutan dan menggarap hutan itu asalkan dengan satu syarat, bahwa warga tidak boleh mengusik dan mengambil bambu yang ada di tengah hutan tersebut. Bambu itu sangat besar rumpunnya dan sangat tinggi batangnya. Karena itu merupakan istana bangsa jin tersebut. Mengenai kasus hilangnya warga kampung di hutan itu memang diakui oleh bangsa jin tersebut, mereka lah yang mengambil dan menjadikannya bangsa mereka, karena warga yang hilang itu dulunya sempat mengambil bambu di hutan itu untuk membuat kandang ternaknya. Hal itulah yang membuat bangsa jin penunggu hutan itu marah karena istana mereka telah diusik oleh manusia. Dukun itu juga berpesan, agar warga yang ingin masuk ke hutan itu terlebih dahulu berdoa kepad Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari gangguan jin. Dan sebelum masuk warga diminta untuk membakar kemenyan dan mengasapi tubuh meeka dengan asar kemenyan tersebut. Maka dengan demikian siapa saja yang masuk ke hutan tersebut akan terjauh dari gangguan jin.
Mendengar penjelasan dukun tersebut barulah warga sadar kalau kasus hilangnya orang di hutan itu karena ulah mereka juga. Maka semenjak saat itu warga desa mulai bersama-sama menggarap hutan itu, mulai dari membersihkan rumput-rumput liar hingga bercocok tanam. Ada juga yang menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan ada juga yang menanam padi. Lama-kelamaan hutan itu akhirnya dipenuhi oleh aktifitas warga desa. Walau demikian tetap warga melestarikan hutan itu dan tidak mengusik bambu besar yang ada di tengah hutan itu. Bahkan warga membuat jalan penhubung antara kampung mereka dan hutan itu yang jalannya diteruskan ke dalam hutan. Tujuannya agar saat membawa hasil cocok tanam lebih mudah.
Pada akhirnya hutan itu tidak hanya sebagai tempat bercocok tanam bagi warga, bahkan ada yang membangun rumah di sana. hal itu diikuti juga oleh warga yang lainnya dan lama-kelamaan hutan itu menjadi kampung baru. Kampung itu dinamakan “ranah salayan”, karena setiap hari warga sebelum melakukan aktifitas akan mengasapi tubuhnya dengan asap kemenyan. Proses itulah yang disebut dengan salayan, yang artinya mengasapi tubuh dengan asap kemenyan.   
             

Padang, 16 November 2015 

Ranah Salayan

Read More

Copyright © 2015 diaro | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top